Dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf (1942) erumuskan, bahwa
“tujuan mempelajari ilmu Ushul Fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah, teori, dan
pembahasan dalil-dalil secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum syariat
Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut”.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam merinci dalil-dalil syar’i baik itu
yang diambil dari Alquran ataupun Sunnah banyak ulama sepakat memakai dua
kaidah umum sebagai pilar dasar penetapan hukum Islam. Pertama, kaidah ibadah,
dan kedua, kaidah muamalah.
Dalam
persoalan ibadah konsep syariat didasarkan pada
Al-Aslu fil al-Ibadah al-Hurma, asal muasal dari semua hal itu haram
dilakukan, kecuali ibadah (dan tatacaranya) yang sudah diajarkan dan
diperintahkan oleh agama. Semua ajaran agama dalam ibadah itu sudah jelas
hukumnya.
Artinya, ketetapan akan Hukum Allah dalam hal ini tidak bisa ditolak.
Namun dalam persoalan muamalah tidak ada ketentuan yang pasti di mana Allah
menentukan “otoritas kebijakan yang permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib
dipraktikkan umat Islam. Yang ada
hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam
semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah
di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad
tanpa perlu terikat pada sistem hukum yang baku dalam Alquran maupun
Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada “Hukum Tuhan”. Demikian penuturan Ulil Abshar-Abdalla dalam
suatu seminar bertajuk “Mempersoalkan Perbedaan Pendapat Dalam Islam” yang
digelar di Gedung Kesenian Rumentangsiang kota Bandung Selasa, 14 Januari 2003.
Teori
ini pula yang dijadikan pijakan oleh Ulil Abhsar-Abdalla, seorang “mantan
santri” yang kini sedang dituntut ke meja hijau oleh beberapa orang yang
mengklaim sebagai Ulama dengan bendera “Forum Ulama Umat Indonesia” (FUUI),
karena beberapa pernyataannya dalam tulisan bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam” (Kompas 18/11/2002) dikategorikan sebagai penghinaan secara sempurna
terhadap Islam, Allah, dan Nabi Muhamad.
Jika
argumentasi yang dipakai Ulil demikian, maka pertanyaannya adalah, di manakah
letak kesalahannya? Banyak yang menduga bahwa gugatan terhadap Ulil tersebut
bukan terletak pada persoalan pemisahan antara hukum ibadah dan muamalah,
melainkan lebih pada sikap provokatif dalam menyajikan gagasannya. Fauzan
al-Anshari misalnya, dalam diskusi yang sama, menegaskan bahwa kebebasan berbeda
pendapat dan berekspresi adalah sah adanya. Namun jika ungkapan itu merangsang
“radikalisme” dan menganggu “stabilitas” sosial maka di situlah persoalannya”.
Berbeda dengan Fauzan, Eggi Sudjana yang
juga hadir dalam acara itu menyatakan, “bahwa perbedaan mengenai Islam haruslah
mengacu pada aspek kemaslahatan bersama bagi umat Islam, bukan malah
menimbulkan keresahan seperti yang dilakukan Ulil.”
Tapi
benarkah pernyataan Ulil tersebut harus dibatasi dalam ruang akademik semata?
Apa yang menjadi ukuran akademik dan publik dalam soal ini? Bukankah gagasan
baru sesungguhnya sangat dibutuhkan bagi umat Islam yang selama ini mengalami
stagnasi pemikiran? Apakah benar setiap gagasan baru –yang karena itu berbeda
dengan gagasan-gagasan lama-- dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum
karena meresahkan beberapa orang? Inilah yang menjadi pertanyaan sampai
sekarang, sebab bagaimana pun juga tulisan Ulil tidaklah bermaksud untuk
melakukan hal-hal seperti yang diduga oleh Fauzan, Eggi, dan para ulama di FUUI.
Ia sekedar melontarkan gagasan pemikiran dalam rangka sosialisasi wacana. Ulil
mengatakan bahwa selama ini energi umat telah larut dalam pragmatisme
politik-simbolik dan cenderung mengabaikan nilai-nilai substansial Islam dalam
konteks transisi di Indonesia.
Di
luar itu, ketegasan Ulil memisahkan antara pengertian ibadah dan muamalah
bukanlah satu gagasan a-historis tanpa basis keilmuan. Ia justru mengacu pada
tradisi keilmuan Islam yang telah lama dijadikan referensi umum; bahwa tujuan
penetapan hukum Islam yang terpenting adalah menjamin kemaslahatan umat
manusia, dan bukan sekedar memperjuangkan hukum Islam secara simbolik. Selama
ini perjuangan umat Islam cenderung keliru karena hanya berkisar seputar
persoalan jilbab, Piagam Jakarta, penggrebegan arena maksiat dan lain-lain,
yang sebenarnya hanyalah bagian partikular daripada subtansi ajaran Islam
seperti memberikan jaminan hidup yang layak kepada fakir miskin, pendidikan
murah, layanan kesehatan, demokratisasi, penegakan hukum dan HAM, dan lain-lain.
Pengertian
substansial Islam seperti ini menurut Ulil adalah hal yang paling mendesak
untuk dilaksanakan. Sebab, tujuan hukum Islam itu sendiri terletak pada
bagaimana sebuah kemaslahatan bersama tercapai. Ukuran kemaslahatan dalam
pemikiran Ulil ini pun mengacu pada doktrin Ushul Fiqh yang dikenal dengan
sebutan al kulliyatul khams (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut
dengan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan Universal syari’ah). Lima pokok pilar tersebut adalah; 1) Hifdz
al-‘aql, menjamin kreatifitas berpikir
dan kebebasan berekspresi serta mengeluarkan opini 3). Hifdz al-dien, menjamin
kebebasan beragama 2) Hifdz al-nafs, memelihara kelangsungan hidup. 4) Hifdz
al-mal, menjamin pemilikan harta dan properti. Dan ke-5) Hifdz al-nasl wal-‘irdl,
menjamin kelangsungan keturunan, kehormatan, dan profesi. Karena itu
menurutnya, “jika perjuangan umat Islam mengabaikan hal-hal ini,
maka runtuhlah nilai-nilai Islam yang substansial”.
***
Menimbang metodelogi Maqhasid al-Syariah di atas, saya
kemudian berasumsi bahwa dalam setiap wacana yang berkembang umat Islam masih
kurang memperhatikan pijakan-pijakan dasar dari setiap metodologi. Apa yang
diperbincangkan dalam setiap pembicaraan mengenai politik Islam selama ini
terkesan lebih didominasi wacana keislaman yang sloganistik dan simbolik.
Setiap kali ada gagasan-gagasan baru yang muncul selalu menimbulkan
kontroversi, dan dalam menanggapinya lebih pada kulit luar/kesimpulannya, bukan
pada aspek dasar-dasar metodologinya. Karena itu ketika Ulil mencoba
“konsisten” mengkritisi berbagai persoalan Islam yang ada di Indonesia,
--sekalipun dengan jalan “tradisional”
dan tetap dalam konteks ilmu keislaman di atas-- masih banyak orang yang
kebakaran jenggot karena sikapnya.
Tuntutan
FUUI maupun kritik Fauzan dan Eggi rasanya kurang memperhatikan konteks
metodologinya. Mungkin karena adanya “konflik” semacam ini, Dr. Jalaluddin
Rakhmat kemudian mencoba menengahi perdebatan dengan memberikan kesaksian atas
sejarah perbedaan pendapat dalam Islam sebagai hal yang wajar. Ketegangan
antara pihak yang mengakui kemutlakan “Hukum Tuhan” maupun yang cenderung
menekankan ijtihad seperti yang diyakini Ulil, menurut Jalal sebenarnya telah
mengakar dalam sejarah umat Islam semenjak masa Nabi. Karena itu Jalal hanya
bisa menyimpulkan; “biarlah perbedaan pendapat seperti ini terus tumbuh
berkembang dalam suasana saling menghargai masing-masing argumentasi, sebab
jika tidak maka vonis kafir terhadap Ulil juga harus ditimpakan kepada
ulama-ulama Islam seperti Imam Buchori, Imam Muslim, Imam Hambal, Ibnu Rusyd,
dan bahkan Umar Ibnu Khatab yang sering melakukan ijtihad dan meninggalkan
nash.”
Memang,
gugatan atas penyataan “ketiadaan Hukum Tuhan” dalam hal ini sangat mungkin
terjadi, sebab dalam logika pemahaman umum, Alquran memuat beberapa ayat yang
menunjukkan adanya (kesempurnaan) “Hukum Tuhan”. Alquran dianggap sebagai
aturan yang mencakup segala-galanya yang tidak lapuk oleh ruang dan waktu. Dalam ayat ke- 68 surat al-Nahl, ayat ke-3
Surat al-Maidah atau ayat ke-38 Surat al-An’am, misalnya, kesempurnaan itu
telah dijelaskan. Pada titik yang lebih ekstrem bahkan, ada beberapa kelompok
yang menganggap bahwa Alquran itu laksana Ensiklopedi yang utuh dan komprehensif
bagi umat manusia sehingga semua aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, dan
budaya telah ada pada al-Quran. Dengan pemahaman seperti ini, kelompok Islam
seperti Hizbut Tahrir misalnya, terang-terangan mengharamkan unsur-unsur dari
luar Islam semisal demokrasi.
Jikalau
memang ada kontradiksi antara metodologi Maqhasid al Syari’ah dengan firman
Tuhan, lantas di manakah letak “kebenaran” dalam penentuan ada dan tiadanya
“Hukum Tuhan” dalam soal muamalah ini?
Pertanyaan klasik inilah yang harus segera dijawab oleh para pemikir
Islam, terutama bagi Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan. Sebab jika Alquran
telah sempurna maka dengan sendirianya Maqhasid al-Syariah yang notabene
dijadikan dasar-dasar pijakan penentuan hukum-Islam, jelas telah melampuai batas
ketetapan “kesempurnaan” itu. Bukankah konsepsi ijtihad adalah satu proses
pencarian terhadap sesuatu yang tidak diketemukan dalam nash? Begitu pula
sebaliknya, jika Maqhasid al-Syariah adalah sebuah metodologi yang absah, maka
dengan sendirianya ihwal kesempurnaan Alquran harus dikaji ulang.
Dalam
soal “kesempurnaan Alquran” ini memang kita melihat realitas buruk di mana
“penyakit literalis” kini marak melebihi gejala narkoba itu terus meluas dalam
bentuk gerakan radikal simbolis. Ada semacam problem lama yang belum sepenuhnya
dapat diatasi, khususnya bagi kalangan Islam tercerahkan, dalam melihat
kenyataan ini. Karena itu, jika kita tidak segera melakukan satu “pendidikan”
dan kampanye secara cepat dan meluas, maka saya melihat bahwa kontradiksi antara
metodologi (ilmiah) dengan “otoritas” wahyu akan terus berlanjut. Dan bukan
mustahil bentuk-bentuk pengadilan atas pemikiran di luar jalur “akademis” yang
dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan akan menjadi penghalang
utama kebebasan berpikir dalam Islam.[]
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."