Hampir
setiap Ramadhan ternyata tidak hanya menyisakan kebahagiaan tetapi juga
keprihatinan terutama pada hari-hari menjelang lebaran disebabkan beberapa
jenis (sembilan) bahan pokok (sembako) menghilang di pasaran karena ada pihak
pihak yang mencari keuntungan pribadi dengan cara menimbun, padahal pada
hari-hari itu sangatlah dibutuhkan, bukan hanya itu, biasanya pada saat BBM
akan naik juga terjadi hal yang sama.
Bagaimana
hukumnya penimbunan tersebut? Islam dalam masalah perdagangan
(pasar) sebenarnya menyetujui adanya kebebasan dengan menyerahkan sepenuhnya
pada mekanisme pasar. Masalah penentuan harga didasarkan atas hukum penawaran
dan permintaan (wifqan li al-ardl wa al-thalab). Kalau permintaan melebihi
penawaran, harga akan naik.
Sebaliknya jika penawaran lebih banyak dari
permintaan harga cenderung menurun. Kebebasan tersebut dipahami dari penolakan
Rasulullah SAW atas permohonan para sahabat untuk menetapkan harga standar
(tas’ir) ketika terjadi kenaikan harga dan barang-barang menjadi mahal.
Berdasarkan peristiwa itu pula para ulama fiqh dalam kondisi normal tidak
memperbolehkan seorang Imam (kepala Negara/pemerintah) melakukan tas’ir.
Kenyataan ini rupanya betul-betul difahami oleh para pelaku pasar. Karena itu
untuk meraih untung sebanyak-banyaknya dalam waktu relative singkat, sebagian
dari mereka melakukan penimmbunan. Dengan menimbun barang mereka berharap
barang menjadi langka dipasaran sementara disisi lain, permintaan dan kebutuhan
konsumen tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Dalam kondisi semacam itu
sudah barang tentu mengakibatkan harga menjadi tinggi. Pasda saat itulah para
penimbun akan menjual barangnya dengan keuntungan yang banyak, karena selisih
harga pembelian dan penjualan sangat besar. Perilaku ini dalam tetaran
kehidupan akan menimbulkan dampak sosial yang sangat berbahaya; Kenaikan harga
terutama makanan pokok, yang tidak diimbangi peningkatan pendapatan masyarakat
akan memicu pikiran-pikiran negative dan tindak kejahatan karena tidak mampu
menjangkau harga sementara kebutuhan itu harus dipenuhi. Lalu bagaimana dengan
kebutuhan-kebutuhan lain yang juga mendesak seperti kesehatan dan pendidikan. Jadi
penimbunan, meskipun membawa manfaat bagi segelintir orang akan berdampak
negatif bagi masyarakat, lalu bagaimana hukumnya? Penimbunan dalam literature
fiqh disebut Ihtikar, yang secara lughawi berati menahan untuk menaikkan harga,
dan berbuat aniaya. Definisi ihtikar yang dibuat para fuqaha meski
berbeda-beda, tidak jauh dar ma’na aslinya, yang intinya adalah menyimpan
bahan-bahan yang dibutuhkan masyarakat untuk menaikkan harga. Sebagian ulama
membatasai penimbunan hanya pada bahan makanan pokok (al-qut) sementara yang
lain berpendapat penimbunan mencakup semua barang yang dibutuhkan masyarakat.
Melihat berbagai dampak itu, menimbun menurut ajaran Islam adalah haram. Dalam
satu hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda “Tidak menimbun kecuali orang
yang keliru”. Dalam hadits lain “seburuk-buruknya hamba adalah penimbun. Kalau
Allah menjadikan harga rendah ia sedih, jika menjadikannya mahal ia gembira.
Sedih karena akan rugi dan senang karena bisa menjal dengan keuntungan besar.
Satu sikap yang berlawanan dengan masyarakat pada umumnya. Sepintas hal itu
tidak sesuai dengan sebuah hadits riwayat Buhari-Muslim yang menyatakan iman
seseorang dianggap belum sempurna sebelum mencintai saudaranya layaknya
mencintai dirinya sendiri (La yu minu ahadukum hatta yhibba liahihi ma yuhibbu
li nafsih). Semestinya jika harga rendah dia ikut sengang dan jika menjadi
mahal ikut prihatin.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."