BENDERA JEPANG DI MESIR


Percayakah Anda, bahwa saya pernah menyaksikan darah perawan seorang gadis Mesir di malam pengantinnya? Percayakah Anda, bahwa darah itu masih segar, dan saya saksikan hanya beberapa menit setelah ia menetes dari 'sumbernya'? Satu lagi, percayakah Anda, bahwa ternyata darah keperawanan seorang gadis Mesir itu dicipratkan ke sehelai kain putih, lalu dipamerkan keliling khayalak ramai di malam pesta perkawinan dengan penuh kebanggaan?

Barangkali, pembaca takkan percaya jika belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saya juga baru yakin dengan haqul yakin, bukan lagi 'ilmal yaqin, setelah sebuah pesta perkawinan yang berlangsung di lapangan halaman depan apartemenku berakhir, kemaren lalu.

Pola hidup sederhana, rupanya diterapkan oleh orang Mesir dalam hampir semua sisi kehidupan. Termasuk dalam pesta perkawinan. Sering saya menyaksikan malam pesta mereka, hanya digelar di sebuah halaman sempit,
dihiasi lampu warna-warni, puluhan kursi yang berhadapan, dan tanpa hidangan makanan. Pengantin duduk di kursi dalam posisi agak tinggi, sementara, sehelai tirai beraneka warna menjadi hiasan latar di bagian belakangnya. Tentu saja, persiapannya pun amat singkat, hanya beberapa menit sebelum acara dimulai, serta tidak melibatkan orang banyak.


Ada satu hal yang selalu menjadi ciri khas. Yakni iringan musik Arab dengan sound system besar, suaranya amat memekakkan telinga. Biar pesta tanpa makan parasmanan, atau sekedar minuman ringan, dalam hal musik dan sound system, mereka tak kalah dari acara pesta Agustusan di tanah air. Lagu-lagu popular Arab berirama remix alias disco yan menggema ke seluruh penjuru kampung, akan menjadi isyarat adanya pesta kawinan.


Selama musim panas tahun ini, setidaknya seminggu sekali, saya menyaksikan pesta semacam itu, di lapangan depan apartemenku. Begitu juga pada malam kemaren itu. Bersama kawan serumah, saya nongkrong di jendela kamar yang sengaja dibuka lebar. Usai shalat Isya, beberapa orang panitia nampak membereskan kursi, memasang lampu, serta sound system. Tak sampai setengah jam kemudian, irama lagu Arab terdengar menggelegar. Orang-orang mulai berkumpul, pengantin pun segera tiba. Tidak ada acara resmi, meski sekedar sambutan pihak keluarga atau lantunan ayat Al Quran. Tetapi, acara dimulai dengan irama shalawat dan bacaan Asmaul Husna, itupun dari tape recorder.


Saat lagu Asmaul Husna berkumandang, suasana berubah tenang, dan semua orang terdiam. Khusyu. Kemudian, acara dilanjutkan dengan akad nikah. Kedua mempelai, wali, saksi dan penghulu, nampak duduk berhadapan. Di belakangnya, puluhan orang berjejal berdiri.


Akad nikah juga tidak lama, tanpa acara lain semisal bacaan ta'lik talak, ceramah khutbah nikah dari penghulu, atau makan bersama, lalu pengantin rebutan bakakak (ayam bakar), sebagaimana dalam tradisi Sunda. Usai akad, musik kembali menyalak, semua orang, tua muda, pria-wanita, tiba-tiba melantai, berjoged ria. Suara zagrudah (lengkingan khas wanita Arab, dengan permainan lidah, diakhiri dengan jeritan kecil, biasa dibunyikan sebagai tanda suka-ria), bersahutan dari sana-sini.


Nah, acara inilah yang selalu jadi pusat perhatian saya, juga kawan-kawan lain. Goyangan pinggul nan erotis para gadis Mesir yang bahenol itu, seolah menjadi acara inti yang selalu dinanti. Saya sering kagum pada mereka, orang-orang Mesir itu. Hampir semua yang hadir, berdiri, bergoyang. Atau setidaknya ikut bertepuk tangan, sembari meliuk-liukkan badan dan kaki. Tarian erotik seorang wanita depan keramaian pesta, bukanlah sesuatu yang dianggap aib, atau sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, ia adalah symbol budaya yang dilembagakan, dan tentu saja amat dibanggakan.


Dalam pesta itu, sekelompok anak muda berdiri berpegangan, membentuk lingkaran besar, sementara di tengah-tengah, sang gadis penari, asyik bergoyang. Pengantin juga biasanya digusur untuk ikut menari bersama dalam lingkaran itu. Nah, dalam pesta-pesta seperti inilah, tari perut khas Mesir, yang dimainkan oleh seorang wanita cantik berpakaian minim bin ketat, dengan bagian perut terbuka, biasanya digelar.


Menjelang tengah malam, pengantin mulai masuk rumah. Acara musik suka ria, terus berlanjut. Saya dan kawan-kawan tak beranjak dari jendela kamar. Kebetulan, apartemen yang kami sewa, berada di lantai dasar, sehingga dalam jarak kurang 5 meter, kami bisa menyaksikan tarian-tarian itu. Hiburan gratis seperti ini khan lumayan juga, bisa menjadi penawar duka kala hati merana. Jendela-jendela apartemen tetangga malam itu, juga dipadati penghuninya, untuk sekedar nonton tari perut, atau tarian biasa para gadis manis.


Pembaca, di tengah hingar bingar irama musik, dalam keasyikan mereka berjoged ria, tiba-tiba sekelompok wanita menyeruak masuk ke dalam keramaian. Saya juga tersentak kaget. Mereka mengibar-ngibarkan dua helai kain putih seukuran handuk kecil kira-kira, ditengahnya terdapat bercak-bercak merah. Sekilas mirip bendera Jepang. Mereka berjalan mengitari kerumunan pesta. Sebagian nampak bersorak kegirangan. Lagi-lagi, irama zagrudah pun terdengar.


"Warna merah di kain itu, adalah darah perawannya", kata seorang kawan serumah. Saya kaget. Dalam tradisi Mesir, tetesan darah perawan di malam pertama, adalah sesuatu yang dinanti dan harus ada. Uniknya, yang pertama kali menyaksikan tetesan darah itu keluar dari sumbernya, bukanlah sang suami, tetapi, salah seorang wanita dari keluarga gadis pengantin. Jadi, usai akad nikah, pengantin wanita masuk kamar, bersama seorang famili wanitanya, yang membawa beberapa helai kain putih. Entah bagaimana caranya, hehehehe.. pokoknya, darah perawan itu harus menetes ke kain itu. Lalu, dari dalam kamar, sang famili wanita, melemparkan kain itu ke luar lewat jendela kamar yang terbuka. Nah, di luar sana, sekelompok wanita lain telah menanti, untuk segera menyambut kain berhiaskan darah. Lalu, kain itu dibawa dan dipamerkan ke khayalak ramai di lapangan pesta tadi.


Masih dalam tradisi mereka, dengan darah itu, semua harus tahu bahwa pengantin itu memang benar-benar masih perawan ting-ting. Kain itu disambut dengan suka cita. Gema sorak sorai dan nyanyian, dari mulut orang-orang yang sedang bergoyang, seolah menunjukkan kebanggaan tertentu. Saat saya menyaksikan ungkapan bahagia mereka di pesta pada malam itu, sejenak saya termenung. Bukan hanya karena kagum pada orang Mesir yang begitu ketat dan vulgar dalam masalah kegadisan, atau karena shock memandangi kain yang mirip bendera Jepang itu. Yang ada di pikiranku kala itu adalah sebuah pertanyaan kecil, mana yang pertama kali dilakukan mempelai pria Mesir itu saat masuk kamar pengantin. Membersihkan tetesan darah yang keluar tadi lebih dahulu, atau malah memproduksi darah baru dengan caranya sendiri. Wallahu A'lam
Category:

0 komentar:

Post a Comment

"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."