Telah kita maklumi bahwa bekasan
ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim
dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan
ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita,
bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah:
ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur,
karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah.
Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan
tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari
macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.
1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang
dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa
itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak
terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa
orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa
bahagian, sebagai berikut:
- Wajib
muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita
kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah.
Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia
membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di
sembarang waktu yang dia kehendaki.
- Wajib
muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan
serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal
dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita
tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah
ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu
wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya
lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu
yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar
pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu
mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun
juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib
muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang
menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji.
Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih
luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari
segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
- Wajib
ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang
dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak
terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan
kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti
shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
- Wajib
kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud
oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang
mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf,
maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang
penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan
orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
- Wajib
muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara'
kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
- Wajib
ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara'
kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan
Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
- Wajib
mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya
oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam
shalat.
- Wajib
mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih
oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan
kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan
sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian
sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu
diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
- Wajib
mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan
dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam
waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
- Wajib
maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah
lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu
diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
- Wajib
mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang
dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan
tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya
disebut wajib mu'âdah.
2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan
yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang
tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita
melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang
meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk
dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub
ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak
dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub
fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang
disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang
dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri
dinamai tathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak
menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang
disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3)
Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua
macam:
- Sunnat
hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang
dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti
adzan dan jama'ah.
- Sunnat
zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan
merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk
terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan
Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi
amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
- Sunat
muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan
Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil
memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan
sunnat fajar.
- Sunat
ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah
mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa
berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah:
"Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini
kepada dua bagian, yaitu:
- Sesuatu
yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan
Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua
hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
- Sesuatu
yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang
dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang
tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang
dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa
apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah:
"Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang
mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh
macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4)
Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau
Nafl.
5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu
yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah
"Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula
meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah
pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula
dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu
sebagai berikut:
- Berdasarkan
penerangan syara;
- Syara'
mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu
tidak suka tinggalkanlah dia itu.
- Syara'
mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
- Tidak
adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak
pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak
dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.
6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali,
dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara'
sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab
ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya
suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah:
"Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh
sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya
matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam
matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi
salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan
menjadi sebab adanya hukum qishash.
7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan
sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau
pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu
ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak
sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka
tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah
shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat
hakiki dan syarat ja'li.
- Syarat
hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh
mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang
lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu,
sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak
ada saksi.
- Syarat
ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh
pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya.
Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu
memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu
pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula
masyrutnya disebut syarat sah.
Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau
tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu
keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum
atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah:
"Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak
dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat
kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka
tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah
membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh
anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh
kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi
sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan
mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat
harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi
mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
- Mani'
yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang
merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan
harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu
menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh
menguasai dan mengambil manfaatnya.
- Mani'
yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan
akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A
menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika
tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
- Mani'
yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si
penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas
barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli):
"Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan
berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah
pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh
si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga
hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap
barang yang dibelinya.
- Mani'
yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah.
Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum
sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah
diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang
barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan
dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat
barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya,
tanpa meminta persetujuan penjual.
- Mani'
yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib.
Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya,
sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia
mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan
pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan
hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari
lamanya.
9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari
segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan
kedua rukhshah.
- Azimah.
Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum,
tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan
tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
- Rukhshah.
Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena
adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan
dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan
seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah
azimah.
Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga
seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi
dua raka'at.
10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
- Melepaskan
tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila
dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang
memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula
dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan
milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk
menguasai dan mengurusnya.
- Memperoleh
pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya
amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu
bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu
pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata.
Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi
pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu
amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan
syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian,
yaitu:
- Tidak
mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut
mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun
dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
- Tidak
mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.
|
|
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."