Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan
merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah
tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan
melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara
itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh
Rasulullah:
"Hendaklah engkau berpegangan
dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang
lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah
itu dengan taring gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut
istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:
"Apa yang
dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun
pengakuan."
Demikian menurut
Dr. Muh. Adib Sholeh, atau menurut Syaikh Muhammad al-Khudlari:
"Apa yang datang dinukil dari
Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan."
1. Kehujjahan as-Sunnah.
Berulang-uIang Allah memerintahkan kita di daIam al-Qur'an
agar kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Misalnya saja firman
Allah yang berbunyi:
"Katakanlah, taatlah engkau
sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya." (Ali Imran: 32)
"Siapa yang
taat kepada rasul berarti taat kepada Allah." (an-Nisâ': 80)
"Wahai
orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu, apabia engkau sekalian berselisih, kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul-Nya." (an-Nisâ': 59)
"Dan
tidaklah pantas bagi seorang lelaki mukmin dan juga tidak pantas bagi perempuan
mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya memutus sesuatu untuk melakukan suatu
pilihan." (al-Ahzab: 36)
Demikian pula di
dalam surat yang lain Allah berfirman:
"Demi Tuhanmu,
tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka sesuatu
keberatan terhadap keputusan yang kami berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (an-Nisâ': 65)
Juga Allah berfirman:
"Dan apa yang diberikan rasul
kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya atasmu,
tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)
Ayat-ayat itu jelas mewajibkan kita taat kepada Allah dan
juga kepada Rasul-Nya.
Ijma' para sahabat juga menentukan demikian. Mereka,
sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan juga
ketentuan as-Sunnah. Dan ini nampak jelas dalam tindakan para Khulafaur
Rasyidin.
Abu Bakar apabila tidak hafal dan mengetahui dalam sunnah,
beliau keluar mencari sahabat-sahabat yang lain menanyakan, apakah mereka
mengetahui sunnah Nabi atas masalah yang sedang dihadapi itu? Bila ada, sunnah
itulah yang digunakan untuk memutuskan. Demikian pula Umar, Utsman, Ali dan
sahabat-sahabat yang lain dan para tabi'in serta tabi'it tabi'in selanjutnya.
Di samping itu di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati
perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya,
seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita
harus melihat kepada as-Sunnah.
Bukankah Allah
telah berfirman di dalam al-Qur'an:
"Dan Kami
menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia
tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya,
as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas
al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita
beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Karena itu, as-Sunnah,
baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam
wajib mentaatinya.
Apabila kita
teliti, as-Sunnah terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan
terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu
hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.
Hal ini juga
dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.
2. Pembagian
Sunnah menurut sanad.
Sunnah dilihat
dari sudut sanad dibagi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Golongan
Hanafi menambahkan satu lagi, yaitu masyhur atau juga dinamakan mustafidl.
Sunnah yang mutawatir
ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi
yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat
bohong atau dusta. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak, jujur serta
berbeda-bedanya keadaan serta lingkungan mereka. Dari kelompok ini, kemudian
sampai juga kepada kelompok yang lain, yang sepadan dan setingkat keadaannya
dengan kelompok yang terdahulu, dan kemudian sampailah kepada kita. Mereka,
kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat
untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya.
Sunnah ahad
ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok
yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Dari seorang perawi ini
diriwayatkan oleh seorang perawi yang seperti dia dan sampai kepada kita dengan
sanad tingkatan-tingkatannya ahad, bukan merupakan kelompok yang merupakan
tingkatannya itu mutawatir. Hadits-hadits yang demikian biasanya disebut juga
dengan Khabarul wahid.
Sunnah yang masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan
dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah
yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian
kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah
tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi. Dan dari
kelompok ini diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan dengannya, sehingga
sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya mendengar dari
Rasulullah, atau menyaksikan perbuatannya oleh seorang atau dua orang, akan
tetapi mereka ini tidak sampai kepada tingkatan tawatir, dan semua tingkatannya
itu adalah kelompok-kelompok tawatir. Termasuk di dalam tingkatan ini ialah
sebagian hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab atau Abdullah bin Mas'ud
atau Abu Bakar. Kemudian salah seorang dari mereka diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang tidak mungkin bermufakat untuk melakukan kedustaan. Contohnya:
- "Amalan itu lantaran niat atau karena
niat.", atau
- "Islam ditegakkan di atas lima
sendi."
Perbedaan antara
sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap
lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal
menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur
lingkungan mata rantai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok diantara
kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau
sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan
lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.
2. Tentang qath'i
dan dhanni
Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti qath'i datang
dari Rasulullah SAW, karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan itu
menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedang
sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari
Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan dan penukilan dari para
sahabat mereka, akan tetapi hal itu tidak pasti datangnya dari Rasulullah
karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu
kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyhur ini sebagai sunnah yang
mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyhurah ini antara
sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.
Sunnah ahad adalah dhanni, sebab sanadnya tidak
mendatangkan kepastian. Dapat diterima sebagai pasti apabila ada
syarat-syaratnya memenuhi. (Misalnya perawinya dewasa, Islam, adil dan teliti).
Dari segi pengertian (dalalah) ketiga macam sunnah itu
kadang-kadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk
dita'wil, kadang-kadang dhanni dalalahnya apabila nashnya mungkin untuk
dita'wilkan. Semua ini merupakan hujjah yang harus diamalkan.
Sunnah Rasulullah, ditinjau dari perbuatan beliau dibagi
atas sunnah qauliyyah, fi'liyyah dan taqririyyah.
Yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan
Nabi tentang sesuatu, sunnah fi'liyyah ialah perbuatan dan tindakan
Nabi, dan sunnah taqririyyah itu ialah pengakuan, persetujuan atau sikap
diamnya Nabi atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.
Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu
sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan.
Sunnah
kadang-kadang disebut juga dengan hadits atau khabar. Karena itu sudah umum
juga disebut hadits mutawatir atau khabar mutawatir, hadits atau khabar ahad
dan selanjutnya.
Sunnah-sunnah
Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat Islam, apabila
ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas beliau sebagai rasul,
sebagai utusan Allah yang membawa syari'at, dan yang dengannya bertujuan
membentuk hukum atau syari'at Islam Karena Nabi Muhammad SAW itu juga adalah
manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur dan
seumpamannya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Disamping itu ada pula sunnah
atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya,
seperti isterinya lebih dari empat. Umat Islam tidak boleh melakukan perkawinan
lebih dari empat orang isteri.
Hadits atau
khabar ahad tersebut, menurut jumlah orang perawinya, dibagi pada sunnah yang masyhurah,
atau hadits mutawatir, aziz dan gharib.
Dikatakan masyhur
atau musta'fidl, apabila diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
tetapi tingkatannya tidak mutawatir. Hadits yang masyhur ini ada yag shahih,
dan ada pula yang tidak shahih.
Hadits aziz
ialah yang diriwayatkan oleh dua, sekalipun dalam satu tingkatan, meskipun
sesudah itu diriwayatkan oleh orang banyak.
Hadits gharib
ialah hadits yang diriwayatkan oleh perseorangan. Disamping pembagian tersebut,
ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi kepada hadits shahih, hasan
dan dha'if.
Hadits shahih ialah hadits yang
bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya
tidak terdapat keganjilan (syadz) dan juga tidak terdapat 'illat di dalamnya.
Adapun hadits hasan, ialah hadits yang sanadnya
bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang yang adil, sekalipun
ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak mengandung
'illat. Hadits ini
dijadikan hujjah.
Hadits dla'if
ialah hadits yang tingkatannya kurang dari tingkatan hadits hasan. Hadits ini
bermacam-macam tingkatan kelemahannya. Hadits dla'if tidak dapat menjadi hujjah
di dalam menetapkan hukum.
Imam Nawawi
berkata, para ulama berpendapat hadits dla'if itu bisa digunakan untuk beramal
apabila ia berisi keutamaan-keutamaan amalan. Asal untuk amalan tersebut sudah
ada hadits yang lain yang shahih atau hasan yang menerangkan boleh beramal
dengan amalan tersebut. Jadi dengan demikian, hadits yang dla'if ini hanya
mengikuti saja kepada hadits yang shahih yang telah ada.
Termasuk di dalam
pengertian hadits dla'if ialah hadits mursal, munqathi', mu'dhal,
mu'allaq dan ma'lul.
Hadits mursal
ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'. Jadi akhir sanad,
yaitu sahabat tidak disebutkan.
Imam asy-Syafi'i
dan Ahmad berpendapat hadits ini tidak bisa menjadi hujjah, karena kemungkinan
seorang tabi' itu meriwayatkannya dari semua tabi' .Tetapi Abu Hanifah
berpendapat dapat menjadi hujjah, karena tabi' itu termasuk di dalam angkatan
yang dipuji oleh Rasulullah.
Disamping itu asy-Syafi'i memberikan syarat dalam menerima
hadits mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi'in besar, orang
kepercayaan yang lain juga meriwayatkannya, ada hadits mursal yang lain yang
sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengannya, dan hadits mursal itu sesuai
pula dengan fatwa sebagian besar para ahli ilmu, apabila disebutlah nama perawi
yang ditinggalkan, tidak akan disebut majhul dan juga perawi tidak akan
dibenci. Akan tetapi, bagaimanapun hadits mursal tidaklah mempunyai kekuatan
yang sama dengan hadits musnad.
Hadits munqathi' ialah hadits yang seorang perawinya
yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak menjadi hujjah.
Hadits mu'dlal ialah hadits yang dua perawinya yang
bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak dapat menjadi hujjah.
Hadits mu'allaq ialah hadits yang tidak disebutkan
atau dibuang permulaan sanadnya, bukan permulaan atau akhirnya. Hadits ini dla'if, kecuali apabila
diriwayatkan dengan cara yang pasti dan mantap. Apabila ia diriwayatkan dengan
pasti dan mantap, menjadilah ia sama dengan hadits yang shahih.
Hadits ma'lul hadits
yang mempunyai cacat yang dapat diketahui dari berbagai pemeriksaan dari
berbagai jalan atau memang ada qarinah-qarinah yang menunjukkan demikian.
Mengetahui cacat dan cela hadits ('illat) amatlah penting. Hal ini untuk
mengetahui kedudukan hadits. Karena itu 'ulumul hadits adalah penting untuk
dipelajari untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadits yang tidak dapat
diterima.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."