Syaikh Muhammad bin Shaleh Al
Utsaimin
Terdapat banyak hukum haid, ada
lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami
anggap banyak diperlukan, antara lain:
1. Shalat
Diharamkan bagi wanita haid
mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga
tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian
dari waktunya sebanyak satu raka'at sempurna, baik pada awal atau akhir
waktunya.
Contoh pada awal waktu : Seorang
wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak
satu ra'kaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat
maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup
untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu,
seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat
mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci,
mengqadha' shalat Shubuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian
dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun, jika wanita yang haid
mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat
sempurna; seperti : Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat sebelum
matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa
mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat".
(Hadits Muttafaq 'alaihi)
Pengertiannya, siapa yang
mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah wajib baginya
mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari
waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya' ?
Terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya
kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar dan
Isya'. Karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa
mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia
telah mendapatkan shalat Ashar itu". (Hadits Muttafaq 'alaihi)
Nabi tidak menyatakan "maka ia
telah mendapatkan shalat Zhuhur dan Ashar", juga tidak menyebutkan
kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada
prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal.70.
Adapun membaca dzikir, takbir,
tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya,
membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al-Qur'an, maka
tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih
Al-Bukhari-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang
haid, lalu beliau membaca Al-Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih
Al-Bukhari-Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Agar keluar para
gadis, perawan dan wanita haid -yakni ke shalat Idul fitri dan Adha- serta
supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do'a orang-orang yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat".
Sedangkan membaca Al-Qur'an bagi
wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan
dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran
Al-Qur'an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca.
Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 2, hal. 372 hal ini
boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca
Al-Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak
membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnul Munzdir
membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut
Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Fathul Baari (Juz 1, hal. 408), serta menurut Ibrahim An-Nakha'i
sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : "Pada dasarnya, tidak ada
hadits yang melarang wanita haid membaca Al-Qur'an. Sedangkan pernyataan
"Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al-Qur'an"
adalah hadist dha'if menurut perkataan para ahli hadits. Seandainya wanita haid
dilarang membaca Al-Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal itu
termasuk yang dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya,
diketahui para istri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan
para shahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan
bahwa ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini.
Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak
melarangnya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal
banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram
hukumnya". (Ibid, Juz 2. hal, 191)
Setelah mengetahui perbedaan
pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita
haid tidak membaca Al-Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya,
seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada
siswi-siswinya atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam
membaca Al-Qur'an, dan lain sebagainya.
2. Puasa
Diharamkan bagi wanita haid
berpuasa, baik itu puasa wajib mupun puasa sunat, dan tidak sah puasa yang
dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib,
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.
"Artinya : Ketika kami
mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits Muttafaq 'alaih)
Jika seorang wanita kedatangan haid
ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi saat
menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa
wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum
maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang
shahih bahwa puasanya itu sempurna dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih
berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang
laki-laki, apakah wajib mandi ? Beliau pun menjawab.
"Artinya : Ya, jika wanita itu
melihat adanya air mani".
Dalam hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku
hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar
seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu,
sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka
sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang
dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan
belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya,
hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya.
"Artinya : Pernah suatu pagi
pada bulan Ramadhan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam keadaan
junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits
Muattafaq 'alaihi)
3. Thawaf
Diharamkan bagi wanita haid
melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun yang sunat, dan tidak sah
thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah.
"Artinya : Lakukanlah apa yang
dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka'bah sebelum
kamu suci".
Adapun kewajiban lainnya, seperti
sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas
dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian
keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka
tidak apa-apa hukumnya.
4. Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah
mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, lalu datang haid sebelum keluar
untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai ia keluar,
maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarnya, hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Diperintahkan kepada
jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah (melakukan
thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid".
(Hadits Muttafaq 'Alaih)
Dan tidak disunatkan bagi wanita
haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo'a.
Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah
Shafiyah Radhiyallahu 'Anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Kalau demikian,
hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih). Dalam hadits ini, Nabi
tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu
disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah
tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.
5. Berdiam dalam masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam
dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied.
Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu Anha bahwa ia mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Agar keluar para
gadis, perawan dan wanita haid ... Tetapi wanita haid menjauhi tempat
shalat". (Hadits Muttafaq 'Alaih)
6. Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan
jima' dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang isteri
memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman
Allah Ta'ala.
"Artinya : Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah : 'Haid itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci ...". (Al-Baqarah : 222)
Yang dimaksud dengan
"Al-mahidhi" dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat
keluarnya yaitu farji (vagina).
Dan sabda nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
"Artinya : Lakukan apa saja,
kecuali nikah (yakni : bersenggama)". (Hadits Riwayat Muslim)
Umat Islam juga telah berijma'
(sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima' dengan istrinya yang sedang
haid dalam farji-nya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar
ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa saja yang melanggar larangan ini,
berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan
orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarh
Al Muhadzdzab Juz 2, hal. 374. mengatakan : "Imam Asy-Syafi'i berpendapat
bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para
sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalalkan senggama dengan isteri
yang haid hukumnya kafir".
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami
diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti : berciuman,
berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina). Namun, sebaiknya,
jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut jika sang isteri
mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah
Radhiyallahu 'Anha.
"Artinya : Pernah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhku berkain, lalu beliau menggauliku
sedang aku dalam keadaan haid". (Hadits Muttafaq 'Alaih)
7. Talak
Diharamkan bagi seorang suami
mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai Nabi, apabila
kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...". (Ath-Thalaq : 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak
dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak
kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab, jika seorang
isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena
haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk
iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah
yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil
karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan;
dan jika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis
iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas
permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang
haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang
diriwayatkan dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya,
bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya)
mengadukan hal itu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun marah dan bersabda.
"Artinya : Suruh ia merujuk
isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi.
Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum
digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak
isteri".
Dengan demikian, berdosalah seorang
suami andaikata mentalak isterinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada
Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah
ia membiarkannya sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian
haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau
mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak
isteri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan.
1. Jika talak
terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya (dalam
keadaan pengantin baru misalnya, pent), maka boleh mentalaknya dalam keadaan
haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak
tersebut pun tidak menyalahi firman Allah Ta'ala: "... maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
...". (At-Thalaq : 1)
2. Jika haid
terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal
terdahulu.
3. Jika talak
tersebut atas dasar 'iwadh (penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan
isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan
hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami - isteri. Lalu si isteri meminta
suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu
boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Bahwa isteri Tsabit
bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata
: 'Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam ahlak maupun agamanya,
tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam'. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya : 'Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?'. Wanita itu
menjawab : 'Ya'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda (kepada
suaminya): 'Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia". (Hadits Riwayat
Al-Bukhari)
Dalam hadits tadi Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak bertanya apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan
karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka
hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan.
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan
tentang alamat bolehnya khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan
membayar tebusan) dalam keadaan haid : "Dilarang-nya talak dalam keadaan
haid adalah adanya madharat (bahaya) bagi si isteri dengan menunggu lamanya
masa 'iddah. Sedang khulu' adalah untuk menghilangkan madharat bagi si isteri
disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama
suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar
madharatnya bagi si isteri daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka
diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu
yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi tidak bertanya kepada wanita
yang meminta khulu' tentang keadaannya". (Ibid, Juz 7, hal. 52)
Dan dibolehkan melakukan akad nikah
dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal, dan
tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan bila suami
diperkenankan berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika
tidak dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa.
Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya
sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.
8. 'Iddah Talak dihitung dengan haid
Jika seorang suami menceraikan
isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si isteri harus
beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang
masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah.
"Artinya : Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...". (Al-Baqarah
: 228)
Tiga kali quru' artinya tiga kali
haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai
melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman
Allah.
"Artinya : ... Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya ...". (Ath-Thalaaq : 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang
tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause,
atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak
diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana
firman Allah.
"Artinya : Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara isteri-isterimu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid ...". (At-Thalaaq : 4)
Jika si isteri termasuk
wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu
sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya
sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah
dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh
dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung
datang, maka iddahnya satu bulan penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab
tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syar'iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak
kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti
haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab
yang tidak jelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan;
sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa
kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah
akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka
dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain.
Berdasarkan firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ...". (Al-Ahzaab : 49)
9. Keputusan bebasnya rahim
Yakni keputusan bahwa rahim bebas
dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu,
karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seorang
mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli
waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka
suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas
kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang
dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut
pada saat bapaknya mati. Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal
suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak
mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas
dari kehamilan dengan adanya haid.
10. Kewajiban mandi
Wanita haid jika telah suci wajib
mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy.
"Artinya : Bila kamu kedatangan
haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan
shalat". (Hadits Riwayat Al-Bukhari)
Kewajiban minimal dan mandi yaitu
membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah
rambut. Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl
tentang mandi haid, beliau bersabda.
"Artinya : Hendaklah seseorang
di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna,
kemudian mengguyurkan air di bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan
kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota
badannya. Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk
bersuci dengannya. "Asma bertanya : "Bagaimana bersuci dengannya
?" Nabi menjawab : "Subhanallah". Maka Aisyah pun menerangkan
dengan berkata : "Ikutilah bekas-bekas darah". (Hadits Riwayat
Muslim) Shahih Muslim, Juz 1 hal.179.
Tidak wajib melepas gelungan rambut,
kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut.
Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Juz 1, hal.
178 dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : 'Aku seorang wanita
yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi jinabat ?'
Menurut riwayat lain : 'untuk (mandi) haid dan jinabat ?' Nabi bersabda.
'Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu
kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci".
Apabila wanita haid mengalami suci
di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan
shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau
ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit
dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi
sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci
di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya :
"Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini". Akan
tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar
untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila
kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."