Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian
yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian
yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung
ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua
hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits.
1.
Pengertian ijma'
Ijma' menurut bahasa Arab
berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan
seseorang ( أجـمع القـوم على
كــذا) yang berati "kaum itu
telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu".
Menurut istilah ijma',
ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat
untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah
Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang
kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum
muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
2. Dasar
hukum ijma'
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan
akal pikiran.
a.
Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu."
(an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang
terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil
amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu
peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum
muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu,
jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah
berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang
Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat
perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang
beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan
ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma'
para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b.
AI-Hadits
Bila para mujtahid telah
melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka
ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c. Akal
pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara',
hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu
setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran
Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum
yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia
menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari
yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak
menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam
berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu
ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka
hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi
al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua
dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas,
kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang
banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.
Rukun-rukun ijma'
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka
ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
- Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan
para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum
peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu
terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma'
itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
- Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada
dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid
yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum
dapat dikatakan suatu ijma'.
- Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid
bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum
(syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan
sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para
mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima
suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara,
seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap
yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah
disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik
ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para
mujtahid.
- Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian
besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf
ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
4.
Kemungkinan terjadinya ijma'
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak
zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya
ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
- Periode Rasulullah SAW;
- Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab;
dan
- Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber
hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada
al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh
Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka
langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung
menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu
kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum
muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang
lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang
memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang
nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan
terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan
pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa
itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara
kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin
mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan
Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal
ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai
penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah
Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi,
seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan,
peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang
Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan
sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa
dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan
sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak
dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika,
sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan
dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas
daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
- Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa
enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak
mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di
atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya
daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri
negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam
tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama
Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama
Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam.
Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang
beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat
Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah
musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika
persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada
kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang
sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat
ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil
umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat
Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang
tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi.
Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam.
Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk
berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula
bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu
hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak
tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5.
Macam-macam ijma'
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma'
benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan
macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa
segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma'
terdiri atas:
- ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya
dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani
disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
- Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian
mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka
berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan
hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma'
seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi
suatu ijma', dapat dibagi kepada:
- ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu
adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
- ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu
dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain
atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa
macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang
yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
- Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para
sahabat Rasulullah SAW;
- Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang
dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu
hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal
dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
- Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar
dan Umar bin Khattab;
- Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang
dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah
satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i
tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
- Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu
sumber hukum Islam.
6. Obyek
ijma'
Obyek ijma' ialah semua
peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits,
peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat
yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang
kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi
tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."