Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab
Berkaitan erat
dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang
dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan
atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai
ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan
ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at"
sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.
Dalam
teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam
konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari
kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat
al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas
kepentingan umum (umum al-balwa).
Contoh klasik
untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat
agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a.,
berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang
baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi
keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.
Pendirian 'Umar
untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik
secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup
generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para
sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal
(bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada
beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah
atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa
ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat.
Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk
tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya
kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya
menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.
Pertikaian
pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya
dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga
berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.
Dalam banyak
hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif,
bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan
'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras
ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang
moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari
agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad
al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia
melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak
ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).[1]
Untuk
memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut
yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan
terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang
abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan
memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang
dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.
Yang pertama
dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan
Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:
Berita-berita
telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah
terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya
berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang
terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan
perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah
... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.
Berkenaan
dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah
mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya
kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala,
"Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai
rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah
untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu
sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika
kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni,
Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[3]
Tetapi
berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain...
Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak
dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di
tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan
pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan
orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di
pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan
negeri-negeri yang terbebaskan.
Tetapi
kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di
antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan
Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik
pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan
tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan
ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana
tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah
lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi
sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang
luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah
kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka
yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya
kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak
di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil
dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar,
yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah
dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini
mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta
yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah
dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak
pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal
r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga
menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya
itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan,
lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan
melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang
mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam
Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada
kekuatannya.
Begitulah 'Umar
yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi
Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang
ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara
mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai
rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):
Sekelompok dari
mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan
tanah itu antara mereka."
'Umar:
"Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah
itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan
dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang
benar."
'Abd al-Rahman
ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain
daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!"
'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya
begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku
melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika
tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya
pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda
di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
Orang banyak:
"Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai
harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan
kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka
turun-temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam
keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."
Orang banyak:
"Bermusyawarahlah"
Maka 'Umar pun
bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan
dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman
ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak
mereka."
'Ali ibn Abi
Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir
al-Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn
al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita
sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn
'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."
Bilal:
"Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan
terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang
beriman."
Talhah:
"Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."
Al-Zubayr:
"Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn
'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku
harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."
Bilal
(berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa
yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
'Umar (dalam
keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan
kawan-kawan."
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."