Tiba
fatwa hukuman mati disebut-sebut sekelompok orang terhadap Ulil Abshar-Abdala,
berkaitan dengan artikelnya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas).
SIAPA pun bisa tidak sependapat dengan isi atau metode tulisan Ulil. Namun,
bila sampai mengarah fatwa penghilangan nyawa, ini sudah melampaui kepantasan
akal sehat manusia. Bagi Ulil dan kawan-kawan seperjuangannya, fatwa semacam
ini bisa menjadi bentuk terorisme baru. Akibatnya, perbedaan pendapat semacam
ini bisa menjadi kontraproduktif.
Di
sini saya melihat pentingnya tokoh-tokoh agama memahami dan mengamalkan etika
berbeda pendapat (fiq al-ikhlitaf). Tokoh Islam seperti Yusuf Qardhawi saja
dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf tidak menganjurkan fatwa-fatwa semacam itu ketika
terjadi beda pendapat. Dia bahkan memperkuat argumen, perbedaan pendapat adalah
rahmat.
Apakah
benar Ulil menghina Islam, amat problematik dan dapat diperdebatkan. Jalur
hukum bisa menjadi jalan yang baik karena mungkin dapat diketahui siapa yang
menghina Islam.
Banyak
kalangan yang justru berpendapat, apa yang ditulis Ulil tidak lain membarui
pemahaman atau penafsiran atas Islam. Bagi kalangan ini, perlu dibedakan antara
penafsiran Islam dan Islam sendiri. Apa yang akan kita katakan bila maksud Ulil
yang paling dalam adalah ingin mengagungkan Islam itu sendiri?
Fatwa dengan mengatasnamakan "umat Islam" saya kira amat problematik. Umat Islam yang mana? Umat Islam di Indonesia berjumlah 180 juta lebih. Bagaimana mereka mengetahui bahwa tulisan Ulil menghina Islam seperti dianut 180 juta umat? Siapakah representasi umat Islam di Indonesia yang sebenarnya? Adakah representasi itu pada kemajemukan cara berpikir dan beragama dewasa ini? Mungkinkah kita mengklaim bahwa kita representasi umat Islam?
Jawabannya, sulit berbicara representasi umat Islam saat ini ketika umat Islam mengalami krisis kepemimpinan.
Fatwa dengan mengatasnamakan "umat Islam" saya kira amat problematik. Umat Islam yang mana? Umat Islam di Indonesia berjumlah 180 juta lebih. Bagaimana mereka mengetahui bahwa tulisan Ulil menghina Islam seperti dianut 180 juta umat? Siapakah representasi umat Islam di Indonesia yang sebenarnya? Adakah representasi itu pada kemajemukan cara berpikir dan beragama dewasa ini? Mungkinkah kita mengklaim bahwa kita representasi umat Islam?
Jawabannya, sulit berbicara representasi umat Islam saat ini ketika umat Islam mengalami krisis kepemimpinan.
MENGENAI
fatwa, beberapa pekan lalu, Isioma Daniel-seorang jurnalis Kristen
Nigeria-difatwakan hukuman mati oleh pemerintah dan sekelompok ulama Nigeria
karena menulis artikel di sebuah koran Nigeria yang dianggap menghina Nabi
Muhammad SAW. Sementara Hashem Aghajari, seorang kiai di Republik Islam Iran,
mendapat fatwa hukuman mati karena mengkritik para mullah negeri itu. Ribuan
mahasiswa pun berdemonstrasi menolak fatwa itu.
Sudah
jelas, menghina Nabi Muhammad SAW-seperti nabi-nabi lainnya-adalah perbuatan
tercela secara agama. Umat Islam dan seluruh umat beragama diperintahkan untuk
menghormati seluruh nabi tanpa diskriminasi. Namun, persoalan apakah seseorang
dapat dicap telah menghina Nabi amat sulit dipastikan sebelum terjadi proses
klarifikasi dari yang bersangkutan. Persepsi umum atau bahkan segelintir orang
tentang tulisan atau ucapan seseorang belum bisa menjadi alasan memadai untuk
menjatuhkan vonis teologis tertentu, termasuk fatwa semacam hukuman mati.
Tidak
hanya itu. Kita perlu berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, baik individual
maupun organisasi. Fatwa dalam sejarah Islam memegang peran penting dan mulia
dalam menjawab persoalan-persoalan agama, umumnya masalah-masalah fikih.
Fatwa
itu sendiri merupakan pendapat mengenai masalah- masalah agama yang bisa benar
bisa juga salah karena merupakan bagian dari ijtihad itu sendiri. Bagi umat
Islam kini, rasanya sulit untuk menerima "absolutisme fatwa".
Pengeluaran
fatwa tidak hanya memerlukan ilmu memadai tentang Al Quran dan hadis, tetapi
juga tentang sejarah, konteks, dan bahasa zaman. Karena itu, fatwa bisa
bersifat moderat.
Di
negeri kita pernah muncul fatwa-fatwa kontroversial, seperti fatwa kawin beda
agama, fatwa menghadiri Natal bagi umat Islam, fatwa pelarangan sekte-sekte
agama, dan lainnya. Kedudukan fatwa-fatwa semacam itu bukan merupakan agama itu
sendiri.
Itu
adalah pemahaman kelompok elite agama yang berniat menjaga kesatuan umat, namun
pada saat yang sama dirasakan diskriminatif bagi sebagian umat Islam lainnya.
Apalagi
fatwa hukuman mati. Nyawa adalah paling berharga dalam pandangan Islam dan
agama-agama lain. Menjaga nyawa (nafs) adalah bagian dari maksud syariat agama
itu sendiri, selain akal, keturunan, agama, dan harta. Siapa yang membunuh
seseorang, berarti ia membunuh semua umat manusia, begitu bunyi salah satu ayat
Al Quran.
Benar
bahwa dalam Islam, halal dan haram sudah "jelas", namun pemahaman
mana yang halal dan mana yang haram bisa saja berbeda, dan perbedaan ini tidak
bisa dilepaskan dari konteks. Apalagi yang disebut subhat (samar-samar), ini
berkait akal dan konteks manusia.
Jika
wahyu dan akal sama- sama sumber ajaran agama, terlepas mana yang paling utama,
maka pemahaman terhadap wahyu, disadari atau tidak, mengikutsertakan akal.
SEJARAH
Islam membuktikan, tafsir terhadap apa yang disebut "syariat Islam"
tidak tunggal. Penafsiran atas syariat Islam yang didasari ilmu, ketulusan, dan
tanggung jawab tidak bisa diancam vonis fisik atau psikologis yang bisa menjadi
teror. Tulisan perlu ditanggapi dengan tulisan. Pikiran perlu dihadapi dengan
pikiran. Kiranya, ini yang bisa dikatakan adil.
Salah
satu hikmah-paling tidak bagi saya-dari kontroversi tulisan Ulil adalah empati
terhadap the Other amat penting dalam interaksi sosial. Meski bersikap toleran,
tidak berarti membiarkan segala hal tanpa kecuali. Paling tidak, bagi
kebanyakan umat beragama kini, memahami pluralitas dalam Islam sendiri-selain
pluralitas agama-agama-menjadi kian penting.
Hemat
saya, fatwa semacam hukuman mati terhadap sebuah "pikiran" tidak
perlu terulang lagi di negeri yang mengutamakan toleransi, pluralisme, dan
perdamaian manusia.
Sebagai
penutup, saya mengutip ayat Al Quran, "Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal."
(Al-Hujurat:13).
Hanya
Tuhan saja yang mengetahui takwa-tidaknya seseorang. Penilaian terhadap
keimanan seseorang adalah hak prerogratif Tuhan.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."