Berdasarkan keberadaannya,
mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada
pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua
kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah.
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab
fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut
masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan
aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab
Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer
yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab
ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra'yi
serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal
banyak menggunakan ra'yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh
suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini
meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah
umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.
Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits
ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam
(fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, ijma'i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah
Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan
metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan
sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan
tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk
menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat
Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku
Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
·
Bagian
pertama diberi nama al-Mabsut;
·
Bagian
kedua al-Jami' al-Kabir;
·
Bagian
ketiga al-Jami' as-Sagir;
·
Bagian
keempat as-Siyar al-Kabir;
·
Bagian
kelima as-Siyar as-Sagir; dan
·
Bagian
keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan
secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul
Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut.
Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
2. Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini
diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang
ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh
Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa' yang disusunnya
atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah
al-Ma'mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun
dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh
Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama
hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki
dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki
ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka
temukan dalam al-Muwaththa'. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an,
Sunnah Nabi SAW, Ijma', Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah
menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, 'Urf; Istihsan,
Istishab, Sadd az-Zari'ah, dan Syar'u Man Qablana. Pernyataan ini dapat
dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh
fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki
tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur' an, sunnah Nabi SAW, ijma', dan rasio.
Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk
Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio
adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari'ah, Istihsan, 'Urf; dan Istishab.
Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki.
Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam
menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin
Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar
pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w.
197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w.
204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari
Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah
bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad
yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik
lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab
Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol,
sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3. Mazhab Syafi'i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam
asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan
hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di
zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra
'yi, Imam asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran
ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.
Prinsip dasar Mazhab
Syafi'i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini
asy-Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan
hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur'an.
Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila
dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma' sahabat. Ijma' yang diterima Imam asy-Syafi'i sebagai
landasan hukum hanya ijma' para sahabat, bukan ijma' seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma' tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam
ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi
Imam asy-Syafi 'i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia
menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara'
Penyebarluasan pemikiran
Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab
usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran
dan prinsip dasar Mazhab Syafi 'i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan
oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi 'i yang terkemuka sebagai
penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi'i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
(w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani
(w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi 'i sebagai pendukung kuat mazhabnya;
dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam
penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi 'i tersebut.
4. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali
diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits
terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra'yi kepada Imam Abu
Yusuf dan Imam asy-Syafi'i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar
Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1.
An-Nusus
(jamak dari nash), yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma';
2.
Fatwa
Sahabat;
3.
Jika
terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas,
maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW;
4.
Hadits
mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan
ijma'; dan
5.
Apabila
dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan
qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.
Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad
ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi
berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari'ah, 'urf; istishab,
dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal
(sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin
al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan
Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.).
Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin
Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab
Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan
mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah.
Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam
Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali.
Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan
penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali
menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah
Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada
Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan
faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam
bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu' yang menjadi rujukan utama fiqh
Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut
bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh
Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang
kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang
hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam
Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu' ini kemudian disyarah
oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San'ani (w.1221 H.) dengan
judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab
Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin
Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah.
Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis
beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami' fi al-Fiqh, ar-Risalah fi
al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat
imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr
az-Zakhkhar al-Jami' li Mazahib 'Ulama' al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab
Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa
dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan
makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab.
Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang
menghalalkan nikah mut'ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh
Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra'yi
2. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah
lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi 'i dengan beberapa perbedaan yang
mendasar.
Dalam berijtihad, apabila
mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur'an, mereka merujuk pada
sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga
dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda
dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara'. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad
dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum
di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari
kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak
ijma' sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara', kecuali ijma'
bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang
disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal
wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh
Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).
Menurut Muhammad Yusuf
Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin
Farwaij as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah
Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya'ir
ad-Darajat fi 'Ulum 'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu
Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya'qub
bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi 'ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan
jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.
Syiah
Imamiyah menghalalkan nikah mut'ah yang diharamkan ahlus sunnah;
2.
Syiah
Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus
sunnah tidak perlu; dan
3.
Syiah
Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan
wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh
masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik
Islam Iran sekarang.
Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut
ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang
fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama
atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi
alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan
punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara
luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang
telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza'i
(88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup
sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar
Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila
engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan
tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain
Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza'i pernah
dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi'i menggantikannya. Mazhab ini
juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di
sana. Pemikiran Mazhab al-Auza'i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa
literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza'i dapat
dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf
al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi'i.
Dalam al-Umm, asy-Syafi'i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu
Hanifah dan al-Auza'i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza'i. Menurut Ali
Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza'i tidak dianut lagi
oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161
H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang
mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak
meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak
wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman
ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di
Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa'ad. Menurut
Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai
sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman
berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia
yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais
tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya
yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits
itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang
hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu
memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut;
dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka
memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman
pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah
memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak
tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah
suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan
hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya,
hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara'.
Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash
menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut
semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang
asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna
sejumlah nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.).
Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama
besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai
muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang
dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami'
al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis
sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh
Mazhab Syafi'i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi'i.
Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh
ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut
lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah
Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui
sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul
al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini
adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama
tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu
nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya
dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'. Ijma' yang mereka terima adalah
ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian
ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat
az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma', karena ijma'
seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi'i.
Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan
metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak
menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya
tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini
sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini
pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya
mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam
di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib
al-Arba'ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra
(Mazhab-Mazhab Besar).
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."