Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini
ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan
terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan
maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu
untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.
1.
Pengertian saddudz dzarî'ah
Saddudz dzarî'ah terdiri atas dua perkara yaitu
saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah
berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua
jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini
ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan
terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan
maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu
untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai
tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam
memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan
secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung,
perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan
kaidah:
مـا لا يتـم الـواجب إلا به فهـو الـواجب
Artinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib,
maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat
yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar
shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam
hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia
menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung
kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat,
sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada
perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak
langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina
dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang
menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi
perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu
dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan
kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama
dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2. Dasar
hukum saddudz dzarî'ah
Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an
dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi
ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan
ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki
Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…" (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan
menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu
dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan
zina.
c. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
الا
وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
Artinya:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan)
maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya)
sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan
yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan
terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara
diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan
yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Obyek
saddudz dzarî'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang
ada kalanya:
- Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
- Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan
terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan
perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri
dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena
perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para
ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang
melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga
kemungkinan, yaitu:
- Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang.
- Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang.
- Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan
terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang
kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."