Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang
harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan
kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
- Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil
suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan
antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu
melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
- Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran
biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.
- Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang
diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
- Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa
pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti
sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini
ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan
dalil-dalil dan menggunakan nadzar.
- Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu
dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan
ini, kecuali dua perkara, yaitu:
- Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak
mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya
sebelum dikerjakan.
- Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas
terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya
terlaksana juga iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana
tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
- Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak
sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak
sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak
dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan,
yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut
adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi
mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
- Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah
dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian
ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang
diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap
rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif
terhadap sesuatu yang mustahil.
- Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu
ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali
dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
- Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan
bila perbuatan itu dilaksanakan.
- Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat
memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal,
tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama,
karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa
bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang
sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian
itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah
yang terjadi.
- Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya
kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya
hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu
sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan
ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang bernadzar puasa dengan berdiri di
bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di
bawah terik matahari.
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum
kepadanya ada beberapa macam, yaitu:
- Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata.
Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu. Hal itu terbagi kepada beberapa bagian: - Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti
iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.
- Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni
diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.
- Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi
mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari
hasil tanah 'usyur.
- Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan
mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti
terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.
- Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan
seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan
barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima
itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang
telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai
ibadat kita.
- Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman
siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.
- Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti
mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
- Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti
kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah,
umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang
paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.
- Pekerjaan
yang dihukum hak hamba semata-mata.
Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya. - Pekerjaan-pekerjaan
yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah
lebih kuat.
Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas. - Pekerjaan-pekerjaan
yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba
lebih kuat.
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."