Orang
yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum"
1.
Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada
dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya
dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum
peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum
lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki
perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari
seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian,
sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan
untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab
Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan
qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada
ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut
mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat
mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya
adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan
sebagian Madzhab Hambali.
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab
Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan
istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah
SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah
itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk
menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan
yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
"orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan
rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
3.
Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian
istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua
macam, yaitu:
- Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
- Pindah dari hukum
kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan
macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan
itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
Contoh istihsan macam pertama:
- Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu
hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya.
Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut
tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting
ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting
ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa
barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah
agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya
dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai,
karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu
perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta,
tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali
kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
- Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung
buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci
dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali
sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah
haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur
binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu
langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang
haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas
tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.
Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang
haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang
membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua
- Syara' melarang seseorang memperjualbelikan
atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya,
pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual
beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan
rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi
barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah
dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang
demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan
perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan
memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
- Menurut hukum
kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian
seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa
izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang
pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu
hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya
perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu
kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan
hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya,
maka istihsan terbagi kepada:
- Istihsan dengan
sandaran qiyas khafi;
- Istihsan dengan sandaran nash;
- Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
- Istihsan dengan
sandaran keadaan darurat.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."