Assalaamu
alaikum WarohmatuLlahi wabarokatuh.
Berkaitan
dengan (hukuman) 'iqob, saya masih perlu penjelasan tentang boleh tidaknya dengan
uang, dalam hal ini diniatkan untuk infaq.
Misalnya
saya dengan teman-teman berjanji untuk setiap hari membaca 1 juz quran, bila
kami tidak berhasil maka kami diwajibkan infaq juznya Rp 1. 000, -. Kami
melakukan ini atas dasar kisah Khalifah Umar yang menginfakkan sebidang
kebunnya karena pernah terlambat mengikuti shalat Ashar.
Jawaban
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Terkadang
kita seringrancu dalam menggunakan istilah infaq. Bahkan seringkali
mencampur-adukkan istilah infaq dengan uang kas sebuah pengajian atau
organisasi.
Hukuman
atas pelanggaran sesuatu yang telah disepakati sebelum, sering disebut juga
dengan 'iqob, memang ada banyak manfaatnya.
Namun
kita tetap harus hati-hati dalam implementasinya, terutama bila terkait dengan
harta atau uang. Karena kalau salah format, malah bisa terjebak menjadi sebuah
perjudian.
Di
antara hal yang perlu diperhartikan adalah jangan sampai uang hukuman itu jatuh
sebagai uang kas bersama. Sebab penggunaan uang kas itu terkadang untuk makan,
minum atau digunakan pada hal-hal yang bersifat internal. Di sinilah titik
point yang harus sangat diperhatikan. Karena ditakutkan akan terlaksana sebuah
sistem perjudian, di mana para peserta pada hakikatnya sedang bertaruh. Yang
kalau harus ke luar uang, di mana uangnya secara tidak langsung akan dinikmati
oleh yang menang.
Ini
sama saja dengan sebuah perjudian, di mana dalam suatu permainan akan ada pihak
kalah, lalu yang kalah ini harus mengeluarkan uang untuk diberikan kepada yang
menang. Meski pun si pemenang lalu membeli makanan untuk dimakan bersama-sama
dengan yang kalah, tetapi unsur judi sudah terjadi.
Berebda
halnya bila bentuk hukuman itu bukan dalam bentuk uang kepada kas organisasi,
melainkan untuk diinfaqkan kepada fakir miskin di luar peserta atau anggota
organisasi. Tentu cara begini tidak menjadi judi.
Maka
dalam kisah yang anda sebutkan sebagai kisah Umar bin Khattab ra itu, kebun
yang diinfaqkan oleh beliau tidak diserahkan untuk kepentingan uang kas sesama
kelompok beliau. Tetapi diserahkan untuk fakir miskin.
Yang
menjadi sorotan adalah uang kas organisasi terkadang dicampur atau disetarakan
dengan infaq kepada fakir miskin. Cerita tentang Khalifah Umar ra jauh sekali
perbedaannya dengan hukuman (iqob) yang biasa dilakukan. Infaq itu adalah
sedekah kepada fakir miskin, bukan uang kas anggota pengajian tertentu.
Maka
boleh saja seandainya anda membuat peraturan di dalam suatu organisasi,
misalnya siapa yang terlambat datang harus memberi makan orang miskin sepuluh
orang. Tetapi dengan syarat, orang miskin itu orang lain, di luar organisasi
tersebut.
Pengajian
Bukan Amil Zakat
Satu
hal lagi yang perlu diperhatikan adalah seringkali sebuah organisasi pengajian
tiba-tiba 'merangkap jabatan' menjadi amil zakat. Semua dana zakat dari anggota
pengajian itu ditarik oleh pengurus untukdiserahkan kepada organisasi dan digunakan
untuk kepentingan organisasi. Padahal dana zakat tidak boleh untuk organisasi,
tetapi untuk fakir miskin dan lainnya.
Apalagi
bila organisasi itu bukan amil zakat, maka haram hukumnya menterahkan zakat
kepada organisasi, kalau uangnya hanya untuk uang kas organisasi tersebut.
Seharusnya zakat itu diserahkan kepada badan amil zakat sungguhan, yang
teraudit secara profesional.
Kalau
organisasi itu hanya sekedar menjadi perantara kepada badan amil zakat
profesional, hukumnya dibolehkan. Karena hanya perantara. Tetapi kalau
tiba-tiba sebuah organisasi berubah wujud menjadi amil zakat amatiran, bahkan
tidak jelas ke mana larinya uang-uang zakat itu, pelanggaran sudah terjadi. Dan
perlu dikoreksi.
Bahkan
ada kasus di mana sebuah organisasi memungut zakat dari para anggotanya, lalu
uangnya disetorkan ke pengurus yang di atasnya, lalu ke atasnya lagi, lalu ke
atasnya lagi, sampai di pucuknya, uang itu ternyata dibagi-bagi kepada
pengurusnya. Astaghfirullah adzhim.
Padahal
sekali lagi, dana zakat itu hanya untuk 8 asnaf saja. Dan sebuah organisasi
meski memakai nama keIslaman, tidak termasuk di dalam asnaf yang berhak
menerima zakat. Apalagi uang zakat kemudian berubah menjadi uang kas
organisasi. Tentu ini merupakan sebuah pelanggaran berat yang harus dikoreksi
secara serius.
Jangan
sampai sebuah organisasi Islam malah memakan harta fakir miskin dari jatah
zakat. Kalau pun ada jatah untuk sabilillah, maka bentuknya bukan uang untuk
biaya organisasi, melainkan untuk para mujahidin yang ikut di medan perang. Seandainya
mau dikiaskan kepada dakwah, tetap saja uang zakat itu diserahkan kepada
individu dakwah, bukan kepada organisasinya.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."