Sumber hukum syara' ialah
dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang daripadanya
diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah.
Yang dimaksud dengan diistimbathkan
ialah menentukan/mencarikan hukum bagi sesuatu dari suatu dalil.
Kata al-Adillah () jama' (plural) dari kata dalil,
yang menurut bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah
ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat
kepada hukum syar'i yang 'amali. Artinya dapat menunjuk dan mengatur kepada
bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar'i dengan cara yang tepat dan
benar.
Adillah ada dua macam. Yang pertama
satu kelompok yang semua jumhur sepakat, sedang kelompok yang lainnya ialah
yang terhadap hal tersebut para jumhur ulama berbeda-beda sikapnya. Kelompok
yang mereka sepakati yaitu al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, al-Ijma' dan
al-Qiyas.
Secara singkat al-Adillah itu dapat
dirumuskan sebagai berikut: Dalil itu ada yang berupa wahyu dan ada pula yang
bukan wahyu. Yang berupa wahyu yaitu yang dibaca (matluwwun) dan yang tidak
dibaca (ghairu matluwwin). Yang matluw ialah al-Qur'an sedang yang ghairu
matluw ialah as-Sunnah. Yang bukan wahyu, apabila itu merupakan pendapat
(ar-Ra'yu) para mujtahidin, dinamakan aI-Ijma', sedang apabila ia berupa
kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain, karena bersekutunya di dalam
'illat () dinamakan aI-Qiyas.
Landasan dalil-dalil tersebut ialah
hadits tentang Mu'az bin Jabal ketika diutus oleh Nabi Muhammad SAW sebagai
hakim () di Yaman. Rasulullah bertanya kepada
Mu'adz "Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yan datang
kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutskan dengan
KitabulIah." Nabi bertanya, "Kalau engkau tidak mendapatinya di
dalam KitabuIIah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutus berdasar
Sunnah Rasul." Nabi bertanya, "Kalau disitu juga tidak ada?"
Mua'dz menjawab, "Saya akan berijtihad berdasar pendapatku dan saya
tidak akan lengah." Nabi pun menepuk dada Mu'adz dan berkata
"AlhamduIillah yang telah memberi taufik utusan RasululIah sesuai dengan
apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya."
Baik dinukil haditsnya sebagai
berikut:
"Abu Bakar RA, ketika beliau
masih hidup, apabila terdapat sesuatu perkara beliau melihat dulu pada
al-Qur'an, apabila di situ tidak terdapat dan beliau mengetahui di dalam
as-Sunnah terdapat, beliau akan memutus berdasar as-Sunnah itu, dan apabila
di situ tidak ada, beliau menghimpun tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang
terpilih, kemudian beliau bermusyawarah dengan mereka. Seperti itu pula yang
dilakukan oleh Umar, para sahabat dan semua orang Islam mengakui khiththah
ini."
Berdasarkan semua ini, maka
al-Adillah (dalil-dalil) itu ada yang naqliyah (yang dinukil) dan ada yang
aqliyah (berdasarkkan fikiran). Yang naqli itu yaitu al-Kitab, as-Sunnah,
al-Ijma' dan al-'Urf, Syari'at orang-orang sebelum kita, dan madzhab Shahabi.
Sedang yang aqli yaitu al-Qiyas, al-Mashalihal Mursalah, al-Istihsan dan
aI-Istishhab. Semua ini memerlukan kepada yang lain. Bagaimanapun ijtihad,
hal itu terjadi atas landasan akal yang sehat dan juga berdasarkan naqli,
sedang pada yang naqli itu tidak dapat tidak harus dilakukan perenungan,
pemikiran dan pandangan yang sehat.
Al-Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma'
merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, maksudnya apabila
dibandingkan dengan al-Qiyas, tentu sangat berlainan. Sebab al-Qiyas itu
menjadi sumber apabila terdapat sumbernya di dalam al-Kitab, as-Sunnah dan
al-Ijma' dan juga memerlukan mengetahui 'illat hukum dari sesuatu yang asli.
Tegasnya, sumber hukum yang berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli adalah
al-Qur'an dan as-Sunnah. Setelah itu menempati urutan berikutnya al-Ijma' dan
al-Qiyas. Imam asy-Syafi'iy menamakan aI-Qiyas juga dengan al-Ijtihad.
|
|
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."