Dalam
bidang. kedokteran/kedok.hewan ada istilah euthanasia/ suntik mati/put to
sleep. Suntik mati dilakukan dokter dg pertimbangan : pertama, tidak ada obat/
tidak ada cara/ tidak bisa disembuhkan. kedua, kemampuan membiayai seluruh
pengobatan jika memang ada obat untuk menyembuhkan terbatas. Yg ingin saya
tanyakan bagaimana hukum suntik mati thd manusia atau hewan menurut islam
Jawab:
Dalam ilmu kedokteran memang lazim dikenal praktik euthanasia (qatl ar-rahma
atau taisir al-maut) yaitu tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup
seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan untuk
meringankan penderitaan si sakit. Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit
yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan
dengan memberikan obat-obatan tertentu melalui injeksi (suntikan) yang dapat
mematikan atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat bantu hidup yang
sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang artinya
baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam
ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49). Dengan
demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat
persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu, euthanasia pasif
dan euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah tindakan
dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan
lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang
diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan
sakitnya yang memang sudah parah.
Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat
mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya
pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi. Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam
euthanasia pasif, yaitu upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien
yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya
adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang
dibutuhkan sangat tinggi.
Contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
1. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan
tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan
kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini
senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan
pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita
penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan
khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa
diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk
eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu
terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak
atau kedua orang tuanya.
Contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
1. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian
otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat
keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan
alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan
dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam
paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat
pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin
dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses
kematiannya.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun
dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi
pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan
Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta
melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya
tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan
yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk
membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan
nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan
tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh
Undang-undang.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya
seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali
dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh
seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina
mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang
yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh
juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan
Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat
kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang
lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat),
yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah
satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam
dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap
pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151.
Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang
keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit
berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim). Hal itu karena yang
berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya
manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup
dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah
memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan
proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah
Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif
seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang
demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si
sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau
cara lainnya. Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram
hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas
dari kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah
lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada
manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di
tetapkan-Nya. Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat
menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk
selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada
alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab
kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan
betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan
Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana
dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam kategori praktik
penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta)
dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan
yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan
tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti
kalangan ulama syafi’iyah dan hambali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat
ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak
berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam
kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta
kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar
(maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan
saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan
bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak
minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak
tersingkap ketika kambuh. Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan
sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara
mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari.
Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun
generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu
bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah
pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh,
dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan
sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya
Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan
hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila
penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan
akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli
seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib. (tidak perlu)
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian
berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern
lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada
perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah
sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa
Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang
wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam
kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam
kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi
dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan
sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat
dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan
euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan
dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak
ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini
sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian masalahnya sama
seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti
ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan
demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama
bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk
kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal
bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah
seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak
merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua
aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu
hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang
tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan
tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang
sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya
selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun
lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada
sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh
sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar
dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut.
Penggunaan eutahansia pada hewan hukumnya lebih ringan dan lebih longgar
dibandingkan pada manusuia, sebab jiwa manusia pada prinsipnya adalah haram
untuk dihilangkan selama masih dapat dipertahankan secara wajar sehingga
pengecualian dari prinsip tersebut perlu ketentuan yang ketat dan penanganan
yang sangat ektra hati-hati agar tidak keluar dari kimah tasyri (kemaslahatan
syariah).
Wallahu A’lam, Wa Billahit Taufiq wal Hidayah
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."