Diskursus publik mengenai pemulihan ekonomi Indonesia
detik-detik terakhir ini menunjukkan fenomena menarik. Betapa tidak, di satu
sisi mulai ada penolakan penguasa terhadap IMF yang sekitar tiga tahun
belakangan memback-up pemerintah Indonesia dalam upaya recovery
ekonomi nasional yang ambruk sejak krisis moneter 1997. Namun di sisi lain, ada
pihak yang berusaha terus mempertahankan hubungan RI dengan IMF dengan alasan
adanya kesulitan yang akan dihadapi Indonesia bila “bercerai” dengan
IMF.
Penolakan itu antara lain nampak dari langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo yang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap IMF dan berencana mencari pinjaman dengan mekanisme G to G (langsung antar pemerintah), tidak melalui IMF. Juga dari sikap “mbalelo” Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam menyikapi surat teguran IMF dan Bank Dunia tertanggal 29 September 2000 yang mendesak pemerintah Indonesia meninjau kembali kesepakatan penyelesaian utang Grup Texmaco (Surya, 9 Oktober, 2000). Menurut Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo tersebut perlu didukung. “Saya percaya langkah Prijadi akan mendapat dukungan bukan saja dari partai politik dan DPR, tetapi juga dari seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya. Fuad Bawazier menilai, Dana Moneter Internasional (IMF) telah gagal mengeluarkan Indonesia dari krisis. Karena itu sebaiknya lembaga donor itu berbesar jiwa untuk mundur teratur. “Selama tiga tahun dengan IMF, kenyataannya tidak membuahkan hasil. Malah tambah berantakan,” kata Fuad di Jakarta, Jumat (6/10/00). Selama ini, sambungnya, justru utang bertambah banyak hingga merugikan rakyat kita (Kompas, 7 Oktober 2000).
Penolakan itu antara lain nampak dari langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo yang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap IMF dan berencana mencari pinjaman dengan mekanisme G to G (langsung antar pemerintah), tidak melalui IMF. Juga dari sikap “mbalelo” Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam menyikapi surat teguran IMF dan Bank Dunia tertanggal 29 September 2000 yang mendesak pemerintah Indonesia meninjau kembali kesepakatan penyelesaian utang Grup Texmaco (Surya, 9 Oktober, 2000). Menurut Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo tersebut perlu didukung. “Saya percaya langkah Prijadi akan mendapat dukungan bukan saja dari partai politik dan DPR, tetapi juga dari seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya. Fuad Bawazier menilai, Dana Moneter Internasional (IMF) telah gagal mengeluarkan Indonesia dari krisis. Karena itu sebaiknya lembaga donor itu berbesar jiwa untuk mundur teratur. “Selama tiga tahun dengan IMF, kenyataannya tidak membuahkan hasil. Malah tambah berantakan,” kata Fuad di Jakarta, Jumat (6/10/00). Selama ini, sambungnya, justru utang bertambah banyak hingga merugikan rakyat kita (Kompas, 7 Oktober 2000).
Kegagalan IMF mengeluarkan Indonesia dari krisis seperti disinyalir Fuad
Bawazier itu memang bukan isapan jempol. Selama berhubungan dengan IMF tiga
tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia makin jeblok dan hancur-hancuran.
Bantuan IMF tidak meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, tapi malah
menganjlokkannya Menurut Laporan World Economic Forum, daya saing Indonesia
tahun 2000 ini jatuh lagi dan menduduki posisi yang sangat payah, yakni ranking
ke-44 dari 55 negara. Pada tahun 1997 tatkala krisis moneter mulai bergejolak,
posisi Indonesia masih “lumayan”, rangking ke-15. Pada tahun 1998 –setelah
mendapat bantuan IMF—posisi Indonesia malah merosot menjadi rangking ke-31, dan
tahun 1999 anjlok lagi posisi ke-37. Akhirnya, di tahun 2000 ini, ranking
Indonesia kembali terperosok ke posisi ke-44 (Republika, 19 September
2000 ).
Selain itu, dalam kurun tiga tahun di bawah “asuhan” IMF dan Bank Dunia, hutang
Indonesia juga semakin menggunung dan pajak pun semakin menggila dan mencekik
rakyat jelata. Untuk RAPBN tahun 2000 ini, pemerintahan Gus Dur harus membayar
beban bunga saja sebesar Rp. 58,9 trilyun ( US$ 8,4 miliar dolar dengan asumsi
kurs US$ 1 dolar = Rp 7000). Artinya bunga yang harus dibayarkan kepada pihak
penghutang hampir dua kali lipat dari jumlah pinjaman/utang itu sendiri, yaitu
sebesar US$ 4,73 miliar dolar sesuai keputusan Sidang ke-9 Consultative Group
on Indonesia (CGI) yang berlangsung 1-2 Pebruari 2000 lalu. Dengan pinjaman
baru ini, akumulasi utang luar negeri Indonesia hampir mencapai US$ 150 miliar
dolar, yang jika beban itu dibagi kepada masing-masing penduduk Indonesia, maka
setiap kepala --termasuk bayi yang baru lahir-- akan menanggung utang luar
negeri sebesar US$ 750 dolar ( Rp. 5.250.000, bila kurs 1 dolar = Rp 7000,-),
suatu jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding pendapatan perkapita penduduk
(GNP) Indonesia dalam setahun. Pajak yang dipungut pun akan semakin menjerat
leher rakyat. Buktinya adalah sedemikian besarnya pos penerimaan dari pajak
yang dalam RAPBN tahun 2000, nilainya mencapai Rp 97,78 trilyun (US$ 13,9
miliar dolar) dari keseluruhan nilai penerimaan RAPBN sebesar Rp 137,69 trilyun
(US$ 19,67 miliar dolar). Jadi, lebih dari 70 % penerimaan anggaran belanja
negara diperoleh dari pajak. Dan obyek pajak siapa lagi kalau bukan rakyat !
Namun meskipun kegagalan IMF dan malapetaka yang ditimbulkannya sudah semakin
menyengsarakan rakyat, ternyata masih ada pihak yang enggan berpisah dengan
IMF. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution sulit bagi Pemerintah
Indonesia keluar dari Dana Moneter Internasional (IMF). Karena kalau pun
mencari sumber-sumber dana pada lembaga keuangan Internasional lain, IMF harus
tetap menjadi acuan. “Bisa saja kita ciao (pisah) dengan IMF. Tapi
konsekuensinya kita bisa makan batu seperti kata Bung Karno,” kata Anwar
usai sholat Jumat (6/10/00) di Kantor BI Jakarta (Republika, 8 Oktober
2000).
Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari adanya sikap yang tarik-ulur yang
kontradiktif terhadap IMF akhir-akhir ini, yakni sikap Menkeu Prijadi yang mau
bercerai dari IMF dan sikap Deputi Gubernur BI Anwar Nasution yang ogah-ogahan
berpisah dengan IMF? Jika ditelaah dengan seksama, sikap Menkeu Prijadi itu
sebenarnya adalah sikap munafik! Karena meskipun seakan-akan menantang
IMF, toh pemerintah jauh-jauh hari sudah merencanakan untuk tetap mengemis
utang. Pada pertengahan bulan Oktober 2000 ini, akan segera dilaksanakan Sidang
CGI (Consultative Group on Indonesia) di Tokyo yang diharapkan akan
memberikan dana bantuan sebesar US$ 4,8 miliar dolar yang direncanakan untuk
membantu RAPBN 2001 (Surya, 9 Oktober 2000). Yang dimaui Menkeu Prijadi
sesungguhnya adalah membangkitkan sentimen semu nasionalisme rakyat Indonesia,
lantaran akhir-akhir ini Indonesia mendapat ancaman embargo dan penghentian
bantuan dari negara-negara Barat (khusunya Amerika Serikat dan Inggris),
terutama setelah meledaknya peristiwa Atambua. Langkah Prijadi mirip dengan
langkah munafik yang pernah dilakukan Suharto bulan Pebruari 1992, tatkala dia
dengan sok pahlawan tampil di televisi dan menolak semuan bantuan Belanda
lantaran kelancangan Jan Pronk –ketua IGGI sekaligus Menteri Kerjasama
Pembangunan Internasional Belanda saat itu— yang mengajukan usul agar dana
bantuan internasional kepada Indonesia dikaitkan dengan syarat penghentian
semua pelanggaran HAM yang terjadi. Tapi ironisnya, kendatipun IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia) kemudian dibubarkan, tapi toh Indonesia
tetap rajin berhutang, karena telah muncul konsorsium baru yang meski namanya
berbeda, isinya sama saja, yaitu CGI (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang,
hal.7). Adapun sikap Anwar Nasution, adalah sikap pengecut yang tidak
pantas dimiliki oleh seorang publik figur macam dia yang katanya mempunyai
kredibilitas dan kualitas moral yang tinggi. Seharusnya dia bersikap berani dan
sekaligus mendorong rakyat Indonesia untuk siap berkorban dan menderita demi
meraih kemuliaan dan harga diri. Rakyat Indonesia patut malu dan harus mau
belajar dari rakyat Korea Selatan yang berani menderita untuk memulihkan ekonomi
mereka (meskipun mereka tetap berhutang kepada IMF). Ketika krisis mulai
meruyak di negeri ginseng itu, rakyat spontan menyambut seruan pemerintahnya
untuk berhemat. Mereka hanya membeli barang konsumsi buatan dalam negeri,
melakukan tindakan konkret untuk menahan laju kemerosotan nilai tukar Won,
membatasi secara ketat semua belanja barang konsumsi di luar negeri dengan
disiplin tinggi, dan para diplomat dan kaum profesionalnya di luar negeri
sukarela dibayar dengan mata uang Won (berarti rela menerima gaji lebih rendah)
(Roem Topatimasang, op.cit., hal.13-14).
Sikap mendua terhadap IMF yang didemonstrasikan oleh Menkeu Prijadi dan Deputi
Gubernur BI Anwar Nasution itu sebenarnya menunjukkan kebingungan dan keraguan
birokrat Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Semua itu sebenarnya
wajar, karena penguasa Indonesia selama ini memang tidak punya pedoman dan
sikap hidup yang jelas, yang dapat dijadikan pegangan bagi mereka dan rakyat
mereka dalam menjalani kehidupan. Mereka selama ini hanya puas mengekor dan
tunduk kepada negara-negara Barat yang kafir dengan ideologi kapitalismenya,
padahal sudah terbukti nyata negara-negara Barat tidak memberikan apa-apa
kepada kita selain kesengsaraan, penderitaan, kerusakan, dan kenestapaan.
Benarlah Rasulullah SAW yang sebenarnya telah mengingatkan kita semua akan
bahaya mengekor kaum kafir seperti itu:
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum
kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Dan kalaupun mereka
memasuki lubang biawak (membawa kerusakan) niscaya kalian akan tetap mengikuti
mereka” Para shahabat bertanya, “Apakah mereka itu orang Yahudi dan
Nashrani?” --dalam riwayat lain ‘Apakah mereka itu orang Romawi dan
Persia?’-- Nabi menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” [HSR.
Bukhari dan Muslim)].
Politik Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri adalah salah satu teknik negara-negara Barat untuk
melangsungkan imperialisme (penjajahan) kepada negara-negara jajahannya (Abdurrahman
Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 7). Sedang
imperialisme itu sendiri, sesungguhnya merupakan metode tetap yang khas dari
negara-negara Barat untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme yang mereka
anut. Menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani (1973) dalam Mafahim
Siyasiyah li Hizbit Tahrir hal. 13, imperialisme (al isti’mar)
adalah pemaksaan dominasi (fardhu saytharah) di bidang politik, ekonomi,
militer, dan budaya kepada negara-negara yang didominasi, untuk kemudian
dieksploitasi (istighlal). Ringkasnya, imperialisme senantiasa
menunjukkan 2 (dua) ciri tetap, pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu
saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).
Imperialisme mempunyai berbagai macam bentuk yang senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan konstelasi politik internasional dan opini umum dunia. Pada era
puncak imperialisme militer pada abad XIX dan paruh pertama abad XX, cara yang
lebih banyak dipakai adalah pendudukan militer secara langsung kepada
negara-negara jajahannya. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair
(1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris
menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Namun
demikian, pada abad XIX negara-negara penjajah sebenarnya sudah mulai
memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai langkah awal untuk menancapkan taring
penjajahan di banyak negara. Bahkan boleh dikatakan, penjajahan militer hampir
tak dapat dipisahkan dengan bantuan luar negeri sebagai titik awal pendudukan
militer. Inggris tak akan pernah menjajah Mesir kecuali melalui jalan hutang,
Perancis tidak akan pernah menduduki Tunisia melainkan melalui jalan hutang,
dan negara-negara Barat tak akan dapat meluaskan cengkeramannya di Daulah
Utsmaniyah pada masa-masa terakhirnya kecuali melalui jalan hutang. (Abdurrahman
Al Maliki, op.cit., hal. 200, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah).
Sebelum Perang Dunia I, cara yang ditempuh negara-negara Barat adalah
memberikan bantuan (hutang), kemudian melakukan intervensi melalui hutang itu
untuk menancapkan pengaruh dan kebijakannya di negeri-negeri yang diberi
bantuan. Di Mesir, bantuan-bantuan yang diterima oleh pemerintah antara tahun
1864 hingga 1875 telah mencapai sekitar 95 juta poundsterling. Kemudian pada
tahun 1875 datanglah satu komisi penyelidik untuk memeriksa kondisi
perekonomian Mesir dan mengusulkan dibentuknya sebuah dewan pengawas untuk
memperbaiki keadaan perekonomiannya. Penguasa Mesir saat itu, Khadawi, tunduk
kepada usulan ini dan setelah itu bantuan hutang tidak diberikan kecuali atas
persetujuan dewan pengawas tersebut. Pada tahun 1886 Khadawi membentuk lembaga
Dana Hutang (Shunduq Ad Dayn) guna menerima dana-dana hutang yang
dikhususkan untuk mengelola proyek-proyek lokal. Dengan demikian, ada anasir
pemerintahan asing di dalam tubuh pemerintahan Mesir. Pada tahun 1886 itu juga,
Khadawi membentuk lembaga bernama Sistem Pengawasan Bilateral (Nizham Ar
Raqabah Ats Tsuna`iyah) yang antara lain tugasnya adalah melakukan kontrol
atas kondisi keuangan Mesir. Yang melakukan tugas ini adalah dua orang
pengawas, yaitu satu orang Inggris untuk mengontrol segala pendapatan negara,
dan satu orang Perancis yang mengontrol segala pembelanjaan negara. Lembaga
pengontrol ini kemudian berkembang dan berubah menjadi Dewan Menteri yang di
antara anggotanya adalah dua orang menteri berkebangsaan Eropa; satu orang
berkebangsaan Inggris yang memegang jabatan menteri dalam Kementerian Keuangan,
satu orang lagi berkebangsaan Perancis menjabat sebagai menteri dalam
Kementerian Urusan Pekerjaan Rakyat. Demikianlah akhirnya Inggris berhasil
menjajah Mesir melalui jalan hutang (Abdurrahman Al Maliki, op.cit.,
hal. 201).
Sementara itu di Tunisia, penguasanya saat itu, Bey, telah meminta hutang ke
negara-negara Eropa. Tidak sampai 7 tahun, hutang Tunisia jumlahnya telah mencapai
150 juta Frank, sehingga kemudian negara-negara Eropa menjadikan hutang itu
sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri
Tunisia. Perancis lalu mengusulkan agar dibentuk suatu dewan keuangan yang
kemudian ini disetujui oleh Inggris dan Italia. Pada tahun 1870, Bey
mengeluarkan keputusan untuk membentuk dewan tersebut yang meskipun diketuai
oleh seorang berkebangsaan Tunisia, namun anggota-anggotanya adalah orang-orang
Perancis, Inggris, dan Italia. Dewan keuangan ini bertugas mendata hutang,
menetapkan suku bunga, dan mengelola proyek-proyek yang mendapat bantuan
dananya dari hutang. Dengan jalan inilah, akhirnya Perancis berhasil menjajah
Tunisia. Dan boleh dikatakan, cara seperti ini merupakan langkah umum yang
ditempuh oleh negara-negara Barat saat itu (Abdurrahman Al Maliki,
op.cit., hal. 201).
Namun penjajahan yang mengandalkan pasukan bersenjata dan kekuatan militer ini
mulai goyah pada pertengahan abad XX, tepatnya menjelang berakhirnya Perang
Dunia II. Ini terutama terjadi berkat opini dunia yang sangat gencar
dilancarkan Uni Soviet untuk menentang kolonialisme Barat di berbagai belahan
dunia (Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. vii). Serangan
Uni Soviet ini telah melemahkan posisi kolonialisme yang ada saat itu. Ketika
Sekutu berhasil meraih kemenangan pada Perang Dunia II, Uni Soviet telah
menetapkan program untuk melanjutkan serangannya terhadap penjajahan
kapitalisme dan sekaligus mendorong bangsa-bangsa terjajah untuk mengobarkan
revolusi guna merebut kemerdekaan. Maka dari, Amerika Serikat (AS) kemudian
menyadari bahwa tak ada jalan lagi untuk melestarikan imperialisme kecuali
dengan mengubah caranya dan bahwa tak ada cara lain untuk merebut negara-negara
terjajah dari negara penjajah lain kecuali dengan cara baru, yaitu memerdekakan
negara-negara jajahan lalu menjeratnya dengan macam-macam bantuan dan hutang.
Pada awalnya, imperialisme gaya baru AS ini tidak banyak diketahui orang
banyak, karena diberi kedok dengan “revolusi kemerdekaan” dari penjajahan dan
“bantuan” untuk membangun ekonomi negara yang baru merdeka. Semula cara baru
ini hanya diketahui oleh para pengamat politik internasional. Namun pada
pertengahan dasawarsa 60-an, orang-orang sudah mulai menyadari hal ini terutama
setelah mereka mengamati upaya kemerdekaan negara-negara Afrika dan peristiwa
Kongo. Akhirnya menjadi jelaslah bagaimana cara baru yang dijalankan AS untuk
mengembangkan imperialisme, yaitu mengubah imperialisme yang semula berupa
pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan kekuatan militer terhadap
bangsa-bangsa lemah untuk kemudian dieksploitasi, menjadi pemaksaan dominasi
dengan cara baru: (1) pemberian kemerdekaan --secara formalitas— kepada negara
terjajah, dan (2) memaksakan dominasi atas negara itu melalui berbagai hutang
dan bantuan. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 7-8).
Menjadi gamblanglah bagi setiap orang bahwa ide pemberian kemerdekaan kepada
berbagai bangsa dan pemberian hutang kepada mereka, tidak lain adalah cara baru
untuk melangsungkan imperialisme. Semua orang akhirnya tahu bahwa AS selalu
memantau negara-negara jajahan Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, dan Portugal
di berbagai belahan dunia, kemudian merebut negara-negara jajahan mereka itu
dengan jalan memberikan kemerdekaan dan kemudian mengikatnya dengan memberi
bantuan dan hutang. Peristiwa Kongo dan Angola, serta upaya PBB menentang
penjajahan Inggris di Afrika (seperti Rhodesia), juga pembebasan Irian Barat
yang kemudian digabungkan dengan Indonesia, merupakan bukti-bukti yang amat
jelas adanya langkah politik AS menjalankan cara baru imperialismenya, yaitu
memberi kemerdekaan dan bantuan.
Yang perlu juga diingat, sebuah negara merdeka yang akan mengambil hutang dari
AS, tentunya harus mempunyai alasan atau justifikasi yang kuat di hadapan
rakyatnya. Karena itulah, AS merekayasa opini umum mengenai “rencana
pembangunan” atau “upaya menumbuhkan ekonomi” di negeri-negeri yang sebelumnya
merupakan negara jajahan atau berada di bawah pengaruh negara-negara Barat.
Pembentukan opini ini bertujuan agar penduduk negeri-negeri itu terdorong untuk
menyusun rencana pembangunan atau rencana pembangunan ekonomi, yang untuk
implementasinya tentu membutuhkan biaya besar yang tak lain harus diambil dari
hutang-hutang luar negeri, terurama dari AS. Melalui hutang inilah, akhirnya
negara-negara Barat –terutama AS—dapat memaksakan dominasinya atas berbagai
bangsa untuk kemudian dieksploitasi guna kepentingan negara-negara imperialisme
yang kafir itu. Inilah teknik penjajahan baru yang memang dirancang untuk menggantikan
penjajahan gaya lama berupa pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan
kekuatan militer (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal.8)
Inilah hakikat politik bantuan luar negeri negara-negara Barat, khususnya AS,
kepada berbagai negara dan bangsa di dunia. Bantuan luar negeri adalah sarana
negara-negara Barat –khususnya AS— untuk menguasai negeri-negeri dan
mencengkeramkan pengaruhnya di negeri-negeri itu. Dengan kata lain, bantuan
luar negeri itu sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan suatu senjata politik (as
silah as siyasi) yang ada di tangan negara pemberi hutang untuk memaksakan
politik dan falsafah hidupnya (kapitalisme) kepada negeri yang mengambil
hutang. Pernyataan John F. Kennedy pada tahun 1962 kiranya membuktikan semua
itu. Dia menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan
itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki
pengawasan di seluruh dunia, serta menopang cukup banyak negara yang jika tidak
dibantu sudah pasti akan runtuh, atau beralih ke dalam blok Komunis.”
(Magdoff, The Age of Imperialism, hal.117, dalam Dawam Raharjo, Kapitalisme
Dulu dan Sekarang, hal. 120).
Maka dari itu, tak heran bila bantuan luar negeri dalam berbagai bentuknya
–bantuan ekonomi, militer, pangan, pinjaman, hibah, dan lain-lain— akan selalu
menampakan dua ciri utama penjajahan, yaitu pertama, adanya pemaksaan
dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).
Pemaksaan dominasi nampak sangat jelas dalam bermacam persyaratan (conditionalities)
pemberian hutang, yang sebenarnya lebih patut disebut sebagai “mengintimidasi
dan mencampuri urusan dalam negeri”. Para pemberi pinjaman, apakah itu
lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF),
Bank Dunia, atau bank-bank komersial swasta, hanya akan memberikan pinjaman
jika negara yang akan diberi pinjaman memang bersedia melaksanakann apa yang
mereka sebut sebagai “penyesuaian struktural” (structural adjustment)
yang, pada dasarnya, adalah “menyesuaikan kebijakan perekonomian negara yang
bersangkutan agar lebih berorientasi dan terintegrasi ke dalam sistem pasar
dunia.” Artinya, menyesuaikan diri dengan kehendak sistem pasar dunia yang
dominan: sistem perdagangan bebas kapitalis seperti yang berlaku di negara-negara
industri maju di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang. Itu berarti bahwa
negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari IMF/Bank Dunia harus
melakukan sejumlah “langkah penyesuaian” di dalam negeri mereka, antara lain:
devaluasi mata uang, deregulasi sistem perbankan, privatisasi, liberalisasi
pasar, peningkatan ekspor, pengurangan konsumsi dalam negeri, pengurangan
subsidi sektor publik, pemotongan belanja pemerintah untuk sektor-sektor
pelayanan sosial, dan sebagainya dan seterusnya.
Dominasi ekonomi ini seringkali ditambah lagi dengan dominasi dan tekanan
politik dari negara-negara pemberi hutang. Insiden Atambua yang menewaskan tiga
orang pekerja UNHCR dijadikan alasan AS untuk melancarkan embargo dan menyetop
bantuan ekonomi, jika Indonesia tidak mampu menyelesaikan kasus itu dengan
membubarkan dan mengadili milisi-milisi bersenjata di Timtim. Dalam
kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan AS, William
Cohen (Yahudi), menyatakan, “Kegagalan mereka menjalankan semua komitmen itu
pasti akan memperburuk hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Lebih
jauh, hal itu juga akan membahayakan kelangsungan semua bantuan ekonomi kepada
Indonesia.” (Al Wa’ie, No. 02 Th. I, edisi 1-31 Oktober 2000,
hal. 4).
Selain menimbulkan pemaksaan dominasi, hutang juga menjadi sarana eksploitasi
bagi negara-negara pemberi hutang untuk memperkaya diri sendiri. Bantuan luar
negeri sebenarnya hanya untuk menguntungkan negara-negara kreditor.
Negara-negara yang mendapat bantuan tidak mendapatkan apa-apa selain
ketergantungan kepada negara-negara penjajah yang semakin menjerat dari hari ke
hari.
Keuntungan hasil eksploitasi melalui hutang itu memang cukup nyata. Bantuan
luar negeri telah membentuk suatu sistem yang luar biasa untuk mengalirkan
nilai keuntungan yang diukur melalui pendapatan dan investasi-investasi luar
negeri. Misalnya, dari tahun 1970 hingga 1976, negara-negara industri Barat
telah mengadakan investasi di luar negeri bernilai US$ 67 miliar dolar, yang
US$ 27 miliar dolar di antaranya datang dari Amerika Serikat. Bersamaan dengan
itu, negara-negara penjajah itu menerima pendapatan sebesar US$ 99 miliar dolar
dari investasi-investasi itu (yang US$ 42 miliar dolar di antaranya digunakan
kembali di luar AS, dan yang US$ 57 miliar dolar kembali ke AS). Ini
menunjukkan suatu kelebihan bersih sebesar US$ 32 miliar untuk negara-negara
industri itu dan suatu hasil bersih sebesar US$ 30 miliar untuk neraca luar
negeri AS. (Angka-angka dari Survey of Curent Business, dalam Serge
Latouche, Critique de l’imperialisme, hal. 209).
Selain itu, seluruh kredit dan pinjaman itu sendiri --yang diberikan kepada
negara-negara berkembang-- akan mengalir lagi ke negara-negara pemberi utang
dalam bentuk kewajiban utang (pelunasan dan bunganya) dalam jumlah yang lebih
besar. Setiap satu dolar yang dikeluarkan negara donor untuk dunia ketiga akan
kembali lagi kepada mereka dalam jumlah yang berlipat. Pada tahun 1983,
misalnya, uang yang mengalir dari negara-negara berkembang ke bank-bank swasta
di negara-negara industri jumlahnya US$ 21 miliar dolar lebih banyak daripada
kredit yang mereka berikan ke negara-negara berkembang. Pada tahun 1984, uang
yang mengalir ke negara-negara berkembang, baik dalam bentuk pinjaman maupun
kredit, jumlahnya mencapai US$ 85 miliar dolar. Pada saat yang sama, uang yang
mengalir balik ke negara-negara industri dalam bentuk pelunasan (cicilan
hutang) dan bunga adalah sebesar US$ 92 miliar, atau sekitar 108 % dari uang
yang sebelumnya mereka hutangkan. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia
Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 92-93).
Dari uraian ini, nampak jelas bantuan luar negeri –sebagai bentuk imperialisme
baru—selain disertai syarat-syarat yang menunjukkan dominasi pihak pemberi
hutang, juga memang lebih banyak mengabdi untuk kepentingan negara-negara
kreditor itu sendiri, bukan untuk kepentingan negara-negara penerima hutang.
Demikianlah kenyataannya, karena perilaku negara-negara penjajah yang kapitalis
memang tak dapat dipisahkan dari persepsi ideologi kapitalisme anutan mereka,
yang selalu mementingkan kepentingan diri sendiri dalam setiap aktivitas
hidupnya. Mereka tak akan peduli, walaupun bantuan luar negeri yang mereka
berikan akhirnya menimbulkan kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran,
gejolak sosial, dan kerugian lainnya di pihak penerima bantuan. Yang penting
diri sendiri untung. Itulah prinsip mengutamakan kepentingan sendiri (self
interest) gaya kapitalisme yang sejak dulu sudah dicanangkan oleh Adam
Smith (1723-1790), Bapak Kapitalisme. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of
Nations (1776) berkata:
“Bukanlah dari kemurahan hati tukang daging, tukang bir, atau tukang roti,
kita mengharapkan mendapat makanan; melainkan dari penghargaan mereka atas
kepentingan diri mereka masing-masing. Kita camkan dalam diri kita, bahwa
bukanlah dari rasa kemanusiaan, melainkan dari rasa cinta terhadap diri
sendiri; dan tak akan kita berbicara kepada mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan
kita bersama, melainkan atas dasar laba yang bisa mereka raih.[i]” (Adam Smith,
[i]The Wealth of Nations, vol.II (London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960),
hal. vii, dalam Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga,
hal. 20).
Bahaya Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri untuk membiayai pembangunan adalah jalan paling berbahaya
bagi seluruh negeri di dunia. Umat manusia akan terus mengalami penderitaan
selama mereka mengambil bantuan luar negeri, karena bantuan ini hakikatnya
adalah penjajahan atas mereka.
Sesungguhnya setiap orang yang melihat dan memperhatikan fakta utang luar
negeri, terdapat 5 (lima) bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman
Al Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah):
Pertama, Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri
miskin --termasuk Indonesia-- pada hakikatnya adalah salah satu cara yang
ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang
tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan”
belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara
pemberi hutang. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan di Indonesia,
bahwa jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah
menyedot hampir separoh dari belanja negara. Biro Pusat Statistik mencatat
angka 48 % belanja pemerintahan tahun anggaran 1992 ditujukan untuk membayar
kembali cicilan dan bunga hutang luar negeri. Padahal pada tahun 1974 hanya
tercatat angka 4%, alias kenaikan hampir tujuh kali lipat selama hampir 20 tahun.
Sementara itu Bank Dunia mencatat akumulasi jumlah pembayaran kembali (cicilan
dan bunga) hutang luar negeri Indonesia tahun 1985-89 adalah sebesar US$ 37,03
miliar dolar. Jumlah ini adalah rata-rata 9,3 % dari total GNP atau 36,4 % dari
nilai ekspor. Rasio antara kewajiban cicilan plus bunga dengan penghasilan
negara dari ekspor (sebagai sumber utama pembayaran hutang) inilah yang disebut
dengan DSR (Debt Service Ratio), yakni tolok ukur utama untuk menilai
apakah suatu negara penghutang dianggap mampu membayar hutang-hutangnya.
Menurut Bank Dunia, angkanya tak boleh lebih dari 30 %. Data terakhir dari ADB,
DSR Indonesia tahun 1998 mencapai 36,0 %. Angka yang gawat. Bahkan tahun 2000
diprediksi tetap sama gawatnya: 34 %. Bahkan menurut ECONIT, tahun 2000
diprediksi DSR Indonesia sebenarnya 52 %. Gawat darurat! Dengan kata lain,
lebih dari separuh penghasilan kita habis lagi, hanya untuk membayar hutang
luar negeri. Inilah suatu bentuk eksploitasi negara-negara imperialis atas
Indonesia (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9).
Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus
mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara
mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia
kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan
teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim
pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang
terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang,
Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia
kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus
dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities)
pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat –seperti
pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM-- yang akhirnya hanya
menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit
jari saja menelan kepahitan ekonomi.
Ketiga, Pemberian hutang adalah sebuah proses agar negara
peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin
bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 ini, setelah tiga tahun
dibantu IMF, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 50 % dari jumlah
penduduk, atau sekitar 100 juta orang. Padahal sebelum krisis ekonomi (tahun
1997) jumlah kaum miskin di Indonesia hanya sekitar 14 % dari jumlah penduduk
atau sekitar 22 juta jiwa. (Muhidin M. Dahlan (ed), Sosialisme Religius
Suatu jalan Keempat?, hal. 41; Suara Muhammadiyah, No. 04, 16-28
Februari 2000). Jadi telah terbukti, bahwa program IMF telah sukses menambah
jumlah kaum miskin dan melarat. Bagi negara-negara berkembang yang sedang dalam
kesulitan seperti Indonesia karena harus tunduk dan patuh kepada IMF, IMF
tampak seperti pencekik berdarah dingin, yang menghisap darah orang miskin.
Program-program yang biasanya diajukan IMF di bidang politik dan ekonomi adalah
: (1) Gaji (juga upah buruh) mesti dibekukan (tidak dinaikkan), atau
kalau perlu kenaikannya dibatasi dengan undang-undang. Bila ini diterapkan,
sedang harga terus membubung, daya beli masyarakat akan hancur berantakan. (2) Bantuan
Sosial yang dikeluarkan pemerintah harus dikurangi. Yang menderita adalah
rumah sakit, sekolah, lembaga sosial, dan tunjangan sosial. (3) Subsidi
bahan makanan pokok (sembako) dan BBM harus dihilangkan. Tentu saja tanpa
subsidi harga pangan dan BBM akan melangit dan akan menghantam habis kaum
dhuafa. (4) Merosotnya nilai mata uang akan menyebabkan ekspor besar-besaran
dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami
kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas akan
melambungkan harga. Yang paling menonjol adalah jenaikan harga barang-barang
impor (minyak tanah, bensin, bahan pangan, dan lain-lain). (5) Liberalisasi
ekonomi terhadap pihak luar negeri akan memberi kesempatan kepada
perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeruk keuntungan tanpa batas.
Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya
akan membikin rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah
ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang
kejam. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan
Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99). Selain itu, utang yang makin
bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu juga sangat memberatkan negara peminjam
dan membuatnya semakin tergantung kepada negara-negara donor atau lembaga
keuangan internasional yang meminjamkan uangnya. Menurut INFID (International
NGO Forum on Development Indonesia) akumuluasi hutang luar negeri yang
sudah diterima Indonesia makin menggunung dengan peningkatan cukup tajam, dari
US$ 54 miliar pada 1997, menjadi US$ 142 miliar pada tahun 2000. Hal ini otomatis
akan meningkatkan pula rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto),
dari 23 % pada 1997 menjadi 83 % pada tahun 2000. (Suara Pembaruan, 12
Oktober 2000).
Keempat, Hutang luar negeri yang diberikan pada dasarnya
merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis
kafir Barat kepada negeri-negeri muslim untuk memaksakan kebijakan politik,
ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi hutang bukanlah untuk
membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi
mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat
sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS
telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk
mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia
Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di
AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan
militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan
tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jendral Lucas Clay, untuk mengkaji
masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen
hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana adalah bahwa tujuan pemberian
bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan
bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.”
Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer. Jadi, tujuan
pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu
negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan
negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah
menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk
kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan
negara-negara Barat lainnya. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal.
204-205).
Kelima, Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan
membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Hutang ada yang
berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek,
berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat
memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila hutang
jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang
domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk
hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan tidak mampu melunasi
hutangnya dengan dolar AS karena langka, ataupun kalau dipaksakan membeli
dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata
uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.
Adapun hutang jangka panjang, adalah juga berbahaya karena makin lama jumlahnya
semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara
penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi hutang-hutangnya. Pada saat
inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya
yang sangat merugikan kepada negara penghutang.
Berdasarkan kenyataan ini, jelas sekali bahaya-bahaya besar yang ada dibalik
ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. AS dalam hal ini, yang
mengendalikan lembaga-lembaga keuangan Intemasional seperti Bank Dunia, IMF,
maupun CGI, dengan mudah dapat menghancurkan perekonomian negeri-negeri miskin.
Selanjutnya mereka memaksakan kepentingan politik dan ekonominya terhadap
penguasa-penguasa yang ada di negeri-negeri tersebut. Atau bila perlu menggantikan
penguasa secara paksa melalui krisis ekonomi yang mereka rancang, seperti yang
terjadi dalam kasus lengsernya Soeharto sesaat setelah IMF dan Bank Dunia
membangkrutkan Indonesia lewat krisis moneter dan memaksa Soeharto mundur.
Berdasarkan bahaya-bahaya yang ditimbulkannya itu, bantuan luar negeri adalah
haram menurut syara’, karena :
Pertama, bantuan luar negeri menjadi sarana (wasilah)
timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan,
bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Segala macam
sarana atau perantaraan yang akan membawa kemudharatan (dharar) –padahal
keberadaannya telah diharamkan-- adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:
“Al Wasilatu ilal haram muharramah.”
“Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan.”
Kedua, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis
yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini
haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman:
“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir
untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 141).
Ketiga, bantuan luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba).
Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar
yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT
berfirman:
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs.
al-Baqarah [2]: 275).
Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari
macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai)
ibu kandungnya sendiri...” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al
Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih].
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar
dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam).”
[HR. Al Baihaqy, dari Anas bin Malik].
Khatimah
Sudah saatnya kaum muslimin bersikap tegas dalam masalah bantuan luar negeri
ini. Mereka harus menolak bantuan luar negeri, karena telah terbukti membawa
bahaya dan menyengsarakan mereka. Mereka harus berusaha dan berjuang keras
untuk menghentikan ketertindasan dan ketundukan yang hina di bawah dominasi dan
eksploitasi negara-negara Barat yang kafir. Mereka harus sadar bahwa
negara-negara Barat bukanlah sahabat apalagi penolong mereka, melainkan musuh
dan penjajah yang telah menyengsarakan dan menghinakan mereka.
Kaum muslimin juga seharusnya sadar, bahwa para penguasa mereka adalah para
pengkhianat yang lebih mementingkan kepentingan pihak asing daripada
kepentingan rakyat dan bangsanya sendiri yang melarat dan hidup tersia-sia. Tak
ada balasan yang paling pantas untuk para penguasa sekuler yang zhalim itu,
selain menggulingkan mereka dari tahta kekuasaannya, serta menggantikan mereka
dengan para pemimpin yang ikhlas, yang benar-benar memperhatikan kondisi
rakyatnya, memperjuangkan kesejahteraan dan kemuliaan mereka, serta mengatur
kehidupan rakyatnya itu dengan hukum-hukum yang diridhai Allah SWT.
Dan semua upaya ini tidak akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat
mengantarkan umat menuju puncak keridhoan Allah SWT yang abadi, selain dengan
menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah
Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan
Islam ke seluruh pelosok dunia.
Semua upaya ini wajib ditempuh kaum muslimin agar Islam kembali jaya sebagai
satu-satunya diin yang diridhai Allah SWT di tengah-tengah umat manusia,
meskipun orang-orang kafir membencinya. Allah SWT berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir
benci.” (Qs. ash-Shaff [61]: 8).
2 komentar:
Halo, nama saya Nona. Dwiokta Septiani Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Anita Charles pemberi pinjaman cepat, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 430 juta dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres pada tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan. Jadi saya berjanji saya akan berbagi kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda membutuhkan semacam pinjaman, hubungi Ibu Anita melalui email: anitacharlesqualityloanfirm@mail.com.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: septianidwiokta@gmail.com
Sekarang, semua saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman yang saya kirim langsung ke rekening mereka.
Anda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu Juliet
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."