BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
- Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
- Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
- Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan
oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; - Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam;
- Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak
yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
dimasa yang akan datang;
- Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami-isteri
selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
- Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan
mengasuh, memeliharadan mendidik anaka hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri;
- Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang
tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
- Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas
persetujuan suaminya;
- Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri,
yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang dan lainnya.
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1),
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun
1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan
Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar
talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak
ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan
salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi
dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang
telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam
masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk
dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut
belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinanganatau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinanganatau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan
dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan
saling menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri
sekurangkurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat
Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di
hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara
atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan
melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan
sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain
sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas
yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan
seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki
mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat
beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi
wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh
karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka
hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat
berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagian Keempat Saksi Nikah
Pasal 24
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,
tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah
pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria
harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh
wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan
kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai
pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V
MAHAR
Pasal 30
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita
dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya
atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan
rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul
wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan
dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu
dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk
dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang
senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan
nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan
ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat
atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia
menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan
atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah
atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya
atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya
menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan
keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian
nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku
meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang
diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak
tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur,
kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain,
kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi
percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di
atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai
pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian
tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak
memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap
terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat
meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing ke
dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada
ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran
harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat
kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut
atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah
mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga
pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri
dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta
tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat
sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak
kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah
atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua,
ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak
boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh
bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram,
atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya
tidak sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan,
terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2)
tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari
seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang
harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII
Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55
ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan
isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang
Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu
orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan
57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari
suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam
dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon
suami atau calon isteri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus
ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai
dan pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan
fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya
unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri
yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan
salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan
berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun
dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama
dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud
dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila
pencegahan belu dicabut.
Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8,
pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974
meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang No.1
Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu
pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan
acara singkat dan akan memebrikan ketetapan,
apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut
hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai
empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah
talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah
dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah
dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi
ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah atau keatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang
yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi
atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah
dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang
No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan
tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dan ke bawah dari suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan
perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau
isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan
perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1),
ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan
rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5)
gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi
isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih
dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak
untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau
dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri
dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga
mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai
dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan
keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah
tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang
Pasal 82
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
berkewajiban memberikan tempat tiggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar
kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali
jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat
menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Pasal 83
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti
lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan
oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami
terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf
a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami
atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi
penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah
atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak
tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri
tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan
itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta
isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama
maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85
di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak
berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda
tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak
maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak
lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau
isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan
untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada
harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan
kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi
dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang,masingmasing terpisah
dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang
suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang
kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975
dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros,
dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas
harta bersama untuk keperluan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau
isteri yang isteri atau suaminya hutang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut
tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban
trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri
tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang
lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360
hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu
mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan
berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu
terebut tidak dapat diterima
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn
dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut
dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan
kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah
pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban
tersebut pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai
umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan
harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai
melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah
seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau
badan hukum untuk melakukan perwalian atas
diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan menindahkannya
kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah
gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan
orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang
yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya
dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan
mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya,
kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang
berada di bawah perwaliannya, dan mengganti
kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang
yang berada di bawah perwaliannya, bila yang
bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya
menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana
suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.
Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat
(1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk
ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah
degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa
iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak
yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid
atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian
itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami
isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat
zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau
yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina
dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti
sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang
Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada
isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut
dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati
kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun
dalamrumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya
tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap
suami mengikrarkan talaknya disepan sidang
Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan
Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak
rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, helai kedua dan ketiga masingmasing diberikan
kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar
negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan
tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam
pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau
2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan
atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali
ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal
116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup
jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran
itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang
yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup
menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan
suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri
meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama
mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau
tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang
tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya
melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media
lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat
kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman
pertama dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan
ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 132 ayat (2), panggilandisampaikan melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti
tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan
gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami
isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada
kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan
pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan
untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan
atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat
pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta
akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka
panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan
surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan
Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat
Keterngan kepada masing-masing suami isteri atau
kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam
ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut
dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang
bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami
atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan
memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya
masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama
memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan
memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya
iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya
disepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak
dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang
diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang
besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa
dan memutuskan sebagai perkara biasa.
BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas
isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas
isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas
istrinya yang masih dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga
dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan
pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari
bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya
berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul
dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang
pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui,
maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena
menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan
tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu
iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)
huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka
iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya
bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena
khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak. Bagian Ketiga Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan
hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal
dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya berdasrkan
huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan
ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana
tersebut dalam pasal 96,97
Bagian Keempat
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat
:
a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat
tersebut pada pasal 158
Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak
dan tak dapat dirujuk
Bagian Keenam
Akibat Li`an
Pasal 162
Akibat Li`an
Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk
selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam
masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak
yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan
qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan
dengan alasan atau alasan-alasan selain zina
dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri,
dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang
atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya
kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang
bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri
dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i,
apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati
suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap
2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi saksi, sehelai
dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan
yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya
15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan
tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada
Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada
suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan
oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX
MASA BERKABUNG
Pasal 170
MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib
melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita
dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan
masa berkabung menurut kepatutan.
1 komentar:
jazzakallah tulisannya , numpang unduh bro
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."