Tanya:
Assalamualaikum
Wr.Wb.
Saya
ingin menanyakan pandangan fikih terhadap terapi pengobatan menggunakan terapi
air seni (TAS). Bukunya sekarang sudah beredar disamping penyebarluasannya
dilakukan melalui seminar dan juga adanya kesaksian/bukti dari orang yang sudah
sembuh setelah melakukan terapi tersebut. Dalam sebuah seminar dikatakan bahwa:
"air seni dapat menyembuhkan segala penyakit". Yang saya yakini
selama ini air seni bagaimanapun tetap najis. tetapi kalau sudah banyak yang
membuktikan keampuhannya, apakah air najis boleh digunakan untuk obat?
Atas
jawaban dan perhatiannya, saya haturkan terima kasih. Jazaakumullohu khoiran
katsiiraa, amin.
Wassalamualaikum.
Wr.Wb.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim.
Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu
penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya juga. Yang diketahui oleh orang yang
mengetahui(mempelajari)-nya, dan yang tidak diketahui oleh orang yang tidak
mengetahuinya".
(H.R. Ahmad). Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak hanya
menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obatnya".
Dari
keterangan tersebut, terdapat jaminan bahwa segala penyakit ada obatnya. Dan
ketika suatu obat atau terapi yang tepat dipergunakan untuk mengobati penyakit
yang sesuai, maka penyakit itu pun akan dapat disembuhkan. Seperti diterangkan
oleh sabda Rasulullah Saw: "Untuk setiap penyakit ada obatnya. Maka
apabila obat itu mengenai suatu penyakit, ia akan sembuh dengan seizin Allah
Ta'ala" (H.R. Muslim).
Oleh
karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw
bersabda: "Wahai hamba Allah, berobatlah, karena Allah tidak hanya
menurunkan penyakit, tetapi juga menurunkan obat. Kecuali bagi satu penyakit,
yaitu penyakit tua". (HR. Ahmad, dan penulis kitab sunnan yang lain, serta
Ibnu Hibban dan Hakim, dari Usamah bin Syarik).
Usaha
memelihara kesehatan dan berobat juga dilakukan oleh Rasulullah Saw. Beliau
melakukan hal itu dengan cara, antara lain: menjaga tubuh, seperti menahan diri
untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, karena lambung adalah sarang
penyakit; menjaga diri dari orang yang sedang menderita penyakit menular dan
tidak memasuki wilayah yang sedang diamuk penyakit menular; menkonsumsi makanan
yang tepat, seperti mengkonsumsi madu, yang beliau sabdakan berkhasiat untuk
mengobati banyak penyakit, dan berdoa. Usaha untuk berobat dari penyakit juga
beliau lakukan. Dalam hadits sahih riwayat Muslim dari Jabir, diriwayatkan
bahwa Nabi Saw pernah mengirimkan seorang tabib/dokter kepada Ubay bin Ka'ab.
Lalu tabib itu memotong daging tumbuhnya dan mencosnya (menempelkan besi panas
membara). Ini berarti sang dokter telah melangsungkan operasi pada diri Ubay.
Dari Sa'ad bin abi Waqqash, ia berkata: "Ketika aku sakit, Rasulullah Saw
datang menjengukku. Lalu beliau meletakkan tangannya di antara dua dadaku.
Selanjutnya beliau bersabda: "Engkau sedang terserang terserang penyakit
dada. Datangilah Harits bin Kaladah, saudaranya Tsaqif, karena dia ahli
mengobati penyakit". (H.R. Abu Dawud).
Pernah
suatu ketika, salah seorang sahabat terluka dan banyak mengeluarkan darah. Lalu
Nabi Saw memanggil dua orang dari Bani Ammar. Setelah kedua orang itu melihat
sahabat yang terluka, Rasulullah Saw bertanya kepada keduanya: "Siapa di
antara kalian bedua yang lebih ahli dalam mengobati penyakit?" mendengar
hal itu, sahabat yang terluka berkata: "Memangnya ada kebaikan di dalam
kedokteran, ya Rasulullah Saw?". Beliau bersabda: "Yang menurunkan
obat itu adalah Dia Yang menurunkan penyakit". (H.R. Malik dalam al
Muwath-tha).
Kemudian,
apakah boleh menggunakan materi yang haram atau najis untuk berobat? Tentang
hal ini, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak menjadikan kesembuhan
kalian pada barang yang diharamkan atasmu". (H.R. Bukhari). dan dalam
hadits riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi Kubra dari Abi Darda, Rasulullah Saw
bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan bagi setiap penyakit
obatnya tersendiri. Maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan
barang yang haram". Nafi' berkata: adalah Ibnu Umar, jika ia memanggil
dokter untuk mengobati salah seorang anggota keluarganya, ia mensyaratkan agar
tidak mengobatinya dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT".
Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas r.a.
diriwayatkan: "Bahwa sekelompok orang dari Kabilah 'Urainah datang kepada
Rasulullah Saw untuk berbai'at masuk Islam. Saat berada di Madinah, rombongan
tadi mencoba khamar Madinah (sebelum khamar diharamkan, pen), dan mereka pun jatuh
sakit. Mereka kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah Saw. Mendengar hal
itu, Rasulullah Saw bersabda: "Maukah kalian mendatangi penggembala unta
kami, untuk meminum air seni onta tersebut dan susunya? mereka menjawab:
"Baiklah". Setelah itu mereka mendatangi penggembala tadi, untuk
kemudian meminum susu unta tersebut dan air seninya. Dan mereka pun segera
sembuh dari sakit mereka.....". (H.R. Bukhari dan Muslim, dari banyak
riwayat). Dan dalam satu riwayat disebutkan: "kemudian Rasulullah Saw
memerintahkan mereka untuk meminum air seni unta tersebut dan susunya".
Sedangkan riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum air
seni Rasulullah Saw, yang didiamkan oleh Rasulullah Saw tanpa memberikan
teguran, juga riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum
darah beliau, setelah membekam (menyedot dengan alat untuk mengeluarkan darah
kotor) beliau, yang kemudian juga didiamkan oleh Rasulullah Saw. Dua riwayat
ini oleh ulama dikatagorikan sebagai bagian dari kekhususan beliau, yang tidak
berlaku bagi orang lain. Sehingga tidak masuk sebagai dasar istinbath hukum.
Imam
Nawawi, dalam kitab Majmu' menjelaskan bahwa ulama-ulama madzhab Syafi'i,
setelah mengkaji hadits-hadits diatas, menarik kesimpulan bahwa: "berobat
dengan sesuatu yang najis baru dibolehkan jika tidak ada obat yang suci yang
dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Sedangkan jika obat yang suci itu ada,
maka sesuatu yang najis itu haram, tanpa diperselisihkan lagi. Dari sini,
hadits yang berbunyi:
"Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan bagi
kalian", dimengertikan (dihamalkan) bahwa hal itu haram jika ada obat lain
yang suci yang dapat mengobati penyakit tersebut, dan tidak haram jika tidak
ada obat lainnya."
Dalam
kitab Raudhah Thalibin dijelaskan lebih lanjut:
"Boleh
meminum air seni dan darah untuk hal itu, juga boleh berobat dengan
barang-barang yang najis lainnya, seperti daging ular, kalajengking, dan pasta
yang mengandung alkohol".
Abu
Hanifah berpendapat: boleh meminum air seni dan darah, serta semua barang yang
najis untuk berobat.
Ulama
madzhab Syafi'i memberikan catatan untuk pengobatan dengan barang yang najis
tersebut: "hal itu boleh jika orang yang mengobati itu adalah ahli dalam
pengobatan (dokter ahli), yang mengetahui bahwa tidak ada alternatif lain untuk
pengobatan penyakit itu".
Demikian
juga seperti dijelaskan dalam kitab An Nihayah dan at Tahdzib, seperti dikutip
oleh pengarang Hasyiah ibnu 'Abidin, bahwa: Orang yang sakit boleh berobat
dengan air seni, darah, atau bangkai jika telah diberitahukan oleh dokter
muslim bahwa hal itu berkhasiat untuk menyembuhkan penyakitnya, dan tidak ada
barang lain yang suci yang dapat menggantikan fungsinya. Sedangkan jika dokter
mengatakan bahwa cara itu menjanjikan kesembuhan yang lebih cepat, maka dalam
hal ini ada dua pendapat: ada yang membolehkan dan ada yang tidak.
Demikianlah,
semoga penjelasan ini bermanfaat bagi Anda. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Post a Comment
"Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!."